inspirasi

inspirasi

Wednesday 2 April 2014

Desentralisasi Korupsi


Tulisan ini dimuat di www.siperubahan.com

Saat Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, telah tersentralisasi di pulau Jawa dan beberapa kota besar. Pembangunan di daerah lainnya tetap berjalan, namun tidak sepesat pembangunan di kawasan ini. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan masyarakat akan ketimpangan pembangunan di daerah.
Pada masa Orde Lama, berbagai pemberontakan telah terjadi di daerah karena kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang dirasakan tidak berpihak kepada masyarakat di daerah. Saat Orde Baru, keluh kesah masyarakat dapat ditahan dengan tekanan dari pemerintah terhadap masyarakat dan media. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, berbagai tuntutan masyarakat yang selama ini terpendam pun diangkat kembali. Buruknya pelaksanaan pemerintahan di daerah yang masih dilaksanakan secara sentralistik telah mendorong lahirnya otonomi daerah. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan pembangunan yang tidak merata dan mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat di daerah dan pusat.
Otonomi daerah memiliki dasar hukum UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diperbaharui melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini diharapkan pembangunan di daerah dapat dilakukan lebih luas, nyata dan bertanggungjawab. Adanya perimbangan fungsi dan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah harapannya akan mendorong setiap daerah untuk dapat lebih mandiri, sejahtera, maju dan kompetitif. Pembangunan yang selama ini tersentralistik harapannya akan bisa digantikan dengan pembangunan yang merata dan terdesentralisasi.

Desentralisasi Korupsi
Otonomi daerah pada dasarnya memiliki makna strategis yang berkaitan erat dengan tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia. Otonomi daerah dapat mendorong terciptanya proses demokrasi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Selain itu, otonomi daerah juga diharapkan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kemajuan pembangunan yang merata di setiap daerah. Banyak negara yang telah berhasil melalui kebijakan otonomi daerah. Namun terdapat juga negara-negara yang gagal karena kebijakan yang terdesentralisasi justru mengganggu pelayanan publik dan menimbulkan konflik dan gangguan dalam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.
Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di UGM (2010) mengatakan bahwa sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di daerah.
Dari pidato Guru Besar tersebut kita dapat melihat bahaya virus korupsi yang telah dan dapat terjadi akibat adanya otonomi daerah. Otonomi daerah yang dibuat untuk mendesentralisasi pembangunan justru mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi. Puluhan kepala daerah telah tersangkut permasalahan korupsi. Yang terbaru, Gubernur Provinsi Banten Ratu Atut juga telah menjadi tersangka dari beberapa kasus korupsi yang terjadi di daerahnya.
 Fakta ini diperkuat hasil survei yang dilaksanakan oleh Political and Economy Risk Consultancy pada tahun 2010 yang menyebutkan bahwa dari 16 negara yang berada di Asia Pasifik, Indonesia menjadi negara yang memiliki tingkat korupsi tertinggi. Di antara tujuh negara ASEAN, Singapura dan Malaysia berada pada urutan pertama negara yang tingkat korupsinya terendah, yakni hanya sekitar 1,07%. Selanjutnya disusul Filipina dengan tingkat korupsi 7%, dan Vietnam 7,11%. Indonesia berada di urutan terakhir dengan skor 8,32%.

Antikorupsi
Seorang pemimpin harus berintegritas dan bersikap adil dalam memimpin daerahnya. Walaupun pemimpin tersebut tidak dipilih oleh semua penduduk, namun ketika pemimpin tersebut telah terpilih, dia tidak menjadi pemimpin dari sebagian penduduk yang memilihnya, melainkan pemimpin atas semua penduduk di daerahnya. Begitu juga wakil rakyat yang terpilih tidak hanya mewakili para pemilihnya saja, namun juga semua penduduk di daerah pemilihannya. Etika dan moral ini harus ada dalam diri setiap pemimpin sehingga kapasitas inilah yang mereka cerminkan melalui pemikiran dan tindakan mereka.

Pemimpin yang baik, berintegritas, dan tegas akan membuat para bawahannya mengikuti tingkah laku pemimpinnya. Begitu juga pemimpin yang anti korupsi akan memberi keteladanan kepada bawahannya untuk juga anti korupsi. Tidak dapat dipungkiri, apabila tren ini dapat dipertahankan dan disebarkan ke masyarakat, pembangunan yang adil dan merata dapat dilakukan di setiap daerah. Akhirnya, otonomi daerah yang selama ini memberikan permasalahan baru bagi Indonesia, dapat berjalan dengan ideal dan pembangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan bisa terwujud bagi segenap rakyat Indonesia.

No comments:

Post a Comment