inspirasi

inspirasi

Saturday 22 October 2011

Memperjuangkan Kebenaran Itu Butuh Pengorbanan


Memperjuangkan Kebenaran Itu Butuh Pengorbanan
Oleh: Sahat Martin Philip Sinurat


Pada tahun 1834, dua orang Amerika, Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika, diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya. (sumber: Wikipedia Indonesia)

Hati Munson dan Lyman digerakkan untuk berangkat jauh dari negaranya demi menyebar Firman. Komitmen sudah utuh. Bangsa Batak harus mengenal Firman. Nyatanya, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh oleh orang-orang yang justru menjadi alasan kehadiran keduanya disana. Raja Panggalamei dan rakyatnya menjadi penghalang panggilan mereka. Mati martir menjadi konsekuensi perjuangan mereka demi menyebarkan kebenaran. Ternyata, memperjuangkan kebenaran itu butuh pengorbanan, bahkan hingga lepasnya nyawa dari raga.

Mata kita haru membaca kisah tentang kedua tokoh. Mereka datang ke negeri yang tidak mereka kenal. Bayang-bayang keberhasilan ataupun kegagalan berada di hadapan mereka. Tapi tekad untuk memperjuangkan kebenaran, apapun konsekuensinya, telah bulat. Kebenaran harus ditegakkan di Tanah Batak.

Di negara kita yang semakin haus akan keadilan dan kejujuran ini rasanya sangat dibutuhkan orang-orang yang memiliki tekad seperti Munson dan Lyman. Bangsa ini butuh orang-orang berani, yang siap melawan Raja Panggalamei masa kini. Tidak sebatas penyebaran Firman yang diperjuangkan Munson dan Lyman, bangsa ini membutuhkan lebih dari itu. Ekonomi, pendidikan, politik, hukum, keamanan, dan bidang lainnya lapar akan perubahan yang dibawa para penegak kebenaran. Adakah kita memiliki tekad yang sama seperti kedua tokoh? Beranikah kita memperjuangkan kebenaran? Banyak dari kita akan mengacungkan tangan. Namun, pertanyaan selanjutnya sering menggetarkan kita. Siapkah kita berkorban untuk itu? Bertarung melawan Raja Panggalamei bahkan hingga berkorbannya nyawa?

Banyak orang tergerak untuk memperjuangkan kebenaran Firman ke daerah, bahkan hingga ke negara lain. Mereka berpikir Firman harus disebarkan hingga pelosok-pelosok. Ya, itu sangat baik. Nilai kebenaran dan berita keselamatan memang tidak menjadi hak kita saja. Kita juga punya tanggung jawab untuk membagikannya ke sesama. Namun, kita juga tidak boleh lupa, kota-kota ramai juga sepi akan kebenaran. Dewa dan roh nenek moyang juga ada di kota-kota tersebut. Para penegak kebenaran harus ada disana, menghadapi Raja Panggalamei-Raja Panggalamei di sosial, ekonomi, politik, dan bidang lainnya yang berusaha mempertahankan penyembahan dewa dan roh nenek moyang mereka. Dewa ketidakadilan harus dimusnahkan. Roh korupsi harus diberangus. Begu kemaksiatan harus dilenyapkan dari bumi Indonesia.

Ya, Raja Panggalamei dan rakyatnya harus disadarkan kembali bahkan ikut berbalik melawan penyembahannya. Dewa ketidakadilan, roh korupsi, begu kemaksiatan dan hantu-hantu lainnya harus dimusnahkan dari Sabang sampai Merauke. Munson dan Lyman masa kini harus lahir kembali. Siap dihadang, ditangkap bahkan dibunuh demi hidupnya kebenaran. Mari bangkit Munson dan Lyman masa kini!

2 comments:

  1. Tulisan yang menarik Hat,

    kalau kita melihat dari perspektif Raja Panggalemei, apa yang dilakukannya adalah menolak keyakinan baru yang akan merusak sistem kepercayaannya yang sudah mapan, menolak kebudayaan baru yang bisa saja merongrong kebudayaan yang sudah dibangun masyarakatnya sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu. Raja Panggalemei sudah berdaulat dalam bidang budaya dan sistem kepercayaan sebelum misionaris itu datang.

    Bahwa kita harus berkarya menyebarkan kebenaran, berkarya di bidang pendidikan, ekonomi, politk untuk kebaikan peradaban manusia, aku sepakat. Tetapi menganalogikan kontra-perbaikan-peradaban-manusia sebagai Raja Panggalemei dan rakyatnya, aku sama sekali tidak sepakat.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih bro sudah mau berkunjung dan meninggalkan jejak komentar. :p

    Ya, terkait memakai analogi Raja Panggalamei dan rakyatnya itu sudah ada masukan juga dari beberapa rekan lain. Rasanya memang tidak tepat karena melihat dari satu sudut pandang saja.

    Tapi memang fokus tulisanku tentang bagaimana kita harus siap juga berkorban, bahkan ekstrimnya mati martir untuk melakukan perubahan di bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dll untuk kepentingan kebaikan umat manusia.

    Terima kasih bro atas masukannya.
    Ke depannya mencoba lebih melihat dari berbagai sudut pandang.
    :D

    ReplyDelete