inspirasi

inspirasi

Wednesday 5 October 2011

Sang Semut dan Sang Daun


Saya tahu Allah tidak akan memberikan kepada saya sesuatu yang tidak dapat saya tangani. Saya hanya berharap bahwa Dia tidak memercayai saya begitu banyak. –Bunda Teresa-


Alkisah, hidup seekor semut yang senang berpetualang. Dalam petualangannya dia tersesat dan sampai ke sehelai daun yang menempel di sebuah pohon di pinggir sungai. Saat dia hendak kembali, hembusan angin yang kencang telah melepaskan sang daun dari pokoknya. Daun yang malang ini dipermainkan angin hingga kemudian jatuh ke sungai. Sang semut petualang ternyata ikut serta bersamanya. Petualangan yang tak pernah diduga oleh sang semut kemudian dimulai.

Sungai ini tidak terlalu besar. Lebarnya hanya 3 meter dan kedalamannya hanya berkisar 1 meter. Layaknya sungai ini disebut anak sungai. Tapi bagi sang semut yang selama ini hanya pernah melihat genangan air, anak sungai ini bagaikan laut tak berujung. Riak-riakan kecil bagaikan ombak yang besar. Hembusan angin sepoi-sepoi bagaikan topan yang kuat menerjang. Bagi sang semut, tetap berada di atas daun merupakan satu-satunya jalan untuk tetap hidup. Sang semut berusaha mempererat genggamannya pada sang daun. Dia yang selama ini selalu berjalan dengan pongah dan merasa tidak ada tantangan yang terlalu berat untuk dijalaninya akhirnya menyesali keangkuhannya. Saat itu dia  menyadari, dia juga harus bergantung kepada sang daun yang selama ini dianggapnya lemah tak berguna.

Sang semut dan sang daun tidak tahu ke mana arah perjalanan mereka. Yang bisa dilakukan hanya pasrah mengikuti kehendak sang air. Tanpa mereka ketahui, anak sungai ternyata berusaha mencari induknya dan sampai ke sungai yang lebih besar. Lebarnya 10 meter dan memiliki kedalaman hingga belasan meter. Yang menakutkan dan kemudian diakui oleh para penumpang gelap ini, terdapat banyak batu besar di sepanjang jalur sungai. Benturan yang hebat antara air dan batu menimbulkan buih-buih yang sangat menyeramkan bagi sang semut yang kecil. Sesaat dia merindukan rumahnya yang nyaman, berkumpul bersama ribuan saudaranya, namun kenangan itu telah tertinggal jauh berkilo-kilometer di belakang. Saat ini dia harus menghadapi tantangan di depannya. Kembali dia menyadari genggaman tangannyalah yang menjadi kekuatannya saat ini. Dia berusaha bertahan, menggenggam lebih kuat. Beberapa kali cipratan air yang menerjang wajahnya membuat genggamannya longgar. Namun dia terus bertahan, memperkuat genggamannya dan memperbaiki posisi tubuhnya agar lebih nyaman di atas daun. Tekad yang kuat membuatnya bisa melewati sungai yang mematikan itu. Waktu terasa berjalan dengan lambat. Dia menutup mata, berharap ini semua bisa segera berlalu. Tidak tahu kepada siapa dia berharap, tapi dia yakin ada yang mendengar suara hatinya.

Sungai besar telah menanti di hilir. Banyak sungai yang lebih kecil yang bergabung di sungai ini. Lebar sungai ini tidak main-main, hampir mencapai 70 meter. Kedalamannya bahkan belum diketahui sampai saat ini. Tapi, berkebalikan dengan sungai sebelumnya, sungai ini begitu tenang, mengalir dengan santainya. Mungkin sungai ini berusaha bijaksana dan lebih dewasa karena banyak sungai-sungai lebih kecil yang bergantung padanya. Sang semut merasakan tenangnya sungai ini, tidak ada batu besar yang menghadang, tidak ada cipratan air yang menghanyutkan, begitu tentram, begitu sunyi. Sang semut kemudian melonggarkan genggamannya. Dia bersyukur bisa melewati semua tantangan di belakangnya. Namun, masalah masih ada di depan matanya. Ternyata tidak ada daratan, hanya air di sekelilingnya. Perutnya mulai lapar, tenggorokannya telah haus. Walau dia bisa selamat dari bahaya alam, tampaknya sang semut tidak bisa selamat dari bahaya kelaparan dan kehausan. Rasa takut kembali hinggap di benaknya. Sia-sia tampaknya semua perjuangan tadi.

Air terus mengalir seakan memberikan harapan kosong pada sang semut. Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, empat jam, waktu terus berjalan. Sang semut memandang sekitarnya, kembali dilhatnya hanya air, air, dan air. Air menetes dari matanya. Dia kembali menyesali kepongahannya dulu. Matanya menutup dan dia mulai berandai. Andai dia bisa kembali berkumpul dengan keluarga besarnya, dia berjanji untuk lebih peduli pada adik-adiknya, dan mau membantu ibunya ketika dimintai tolong. Dia juga berjanji akan lebih sabar lagi pada neneknya yang sudah tua namun sangat menyayanginya. Dia juga tidak akan lagi mengganggu guru dan teman-temannya. Ternyata doanya terjawab. Sesaat dia mendengar suara gemerisik pohon dari sisi kirinya. Dia membuka matanya dan menoleh, ternyata dia sudah sangat dekat dengan daratan. Hatinya bersorak dan dia memandang dengan penuh harap ke tanah di depan matanya. Akhirnya, setelah penantian selama lima menit yang terasa seperti berjam-jam, sang daun berhasil mencapai daratan. Sang semut melangkah dengan pelan, menjejakkan setiap kakinya ke tanah di bawahnya, dan tidak lupa berterimakasih kepada sanga daun dan siapapun yang telah mengabulkan doanya. Akhirnya, daratan!

Perjuangan belum berakhir, sang semut masih harus menemukan jalan kembali ke kampung halamannya. Sayang, cerita itu tidak akan kita dengar disini. Akan ada waktu lain untuk menceritakan kisah perjalanannya yang sangat panjang untuk kembali, bahkan jauh lebih berat dari yang pernah dihadapinya saat terhanyut. Namun, pengalamannya di cerita ini menjadi bekal yang cukup untuknya menjalani itu semua. Tubuhnya semakin kuat. Genggamannya semakin keras. Pikirannya semakin jernih. Hatinya semakin sabar. Dia juga menyadari ada sesuatu atau seseorang yang selalu memperhatikannya dan menjawab harapannya. Dan itu semua tidak akan pernah dia dapatkan seandainya dia tidak melewati perjalanan bersama sang daun. Akhirnya, setelah berbulan-bulan, dia berhasil mencapai rumahnya. Dia menunjukkan perubahan yang jauh mencolok dibanding sosoknya yang dahulu. Dia kemudian menjadi Raja Semut yang terbaik yang pernah ada dan membawa kemakmuran di bangsanya. Tercatat dalam sejarah para semut, dia adalah semut paling kuat di zamannya, namun sangat sabar dan peduli kepada sesamanya. Kisah perjalanannya diceritakan turun-temurun hingga generasi-generasi di bawahnya. Begitulah kisah Sang Semut dan Sang Daun.


Tantangan, hambatan, masalah yang ada di depan mata bukanlah suatu cobaan yang membuat kita jadi rendah diri dan kalah. Itu semua justru ada untuk membuat kita selangkah lagi, setahap lagi lebih baik dari kita sebelumnya. Lebih besar tantangan, lebih berat masalah, ketika kita bisa menjalani dan melewatinya, maka akan lebih besar lagi kapasitas diri kita. Lebih baik, lebih sabar, lebih peduli, lebih jernih dalam pemikiran, layaknya Sang Semut. Namun satu yang pasti, Sang Semut pun menyadari ada kuasa besar di balik kekuatannya. Begitu juga kita tentunya harus menyadari kita tidak bisa berjalan sendiri. Ada rencana yang besar di belakang kita untuk membuat kita semakin baik lagi, dan semakin baik lagi. Dan Sang Perencana Terbaik itu tidak pernah lepas tangan akan karya rencana-Nya, selalu memegang tangan kita, bahkan menggendong ketika kita terjatuh.

Maukah kita selalu bersandar padaNya? Dan maukah kita menjalani setiap rencana yang ditentukanNya bagi kita?


Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri,
Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
                Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring,
                Segala jalanku Kaumaklumi.
Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan,
Sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya Tuhan.
               
Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana;
Jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau.
Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,
Juga disana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
Menenun aku dalam kandungan ibuku.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib;
Ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak,
Dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk,
Sebelum ada satu pun dari padanya.
-Mazmur Daud-

No comments:

Post a Comment