inspirasi

inspirasi

Monday 6 June 2016

Menghapus Kemiskinan*

Oleh: Sahat Martin Philip Sinurat**

Pembangunan nasional tidak boleh pandang bulu dan harus dirasakan semua rakyat Indonesia. Namun, salah satu permasalahan utama dalam pembangunan adalah sebagian rakyat Indonesia yang masih hidup di ambang garis kemiskinan. Padahal salah satu tanggung jawab dalam mendukung pembangunan berkelanjutan adalah mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan adalah salah satu problem kehidupan manusia yang menghambat berjalannya pembangunan berkelanjutan.

Pada Konferensi Stockholm tahun 1972, Deklarasi Stockholm menyerukan perlunya komitmen, pandangan, dan prinsip bersama bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup umat manusia. Konsep lingkungan hidup manusia yang diperkenalkan menekankan perlunya langkah-langkah pengendalian laju pertumbuhan penduduk, menghapuskan kemiskinan, dan menghilangkan kelaparan yang diderita sebagian besar manusia di negara berkembang. Dengan mengatasi kemiskinan, mutu kehidupan manusia akan ditingkatkan, dan berbagai macam akibat kemiskinan seperti penyakit, sanitasi, kurangnya ketersediaan air bersih, rendahnya tingkat pendidikan, dan lainnya juga akan bisa diatasi.

Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, berbagai etnis, agama, dan kultur masing-masing memiliki tantangan tersendiri dalam mendorong terjadinya pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah sebagai pengawal pembangunan harus mengentaskan kemiskinan dengan menjadikan masyarakat miskin sebagai
objek utama berbagai kebijakannya. Pembangunan harus dilakukan secara merata, tidak hanya di pulau-pulau utama seperti Jawa dan Sumatra yang selama bertahun-tahun telah menjadi pusat perekonomian Indonesia, namun juga di pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau lainnya.

Pembangunan yang (tidak) adil dan (tidak) merata
Pemerintah saat ini telah banyak menjalankan proyek pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Pembangunan bandara, pelabuhan, jalan, jalur kereta api, dan kawasan industri telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pembangunan ini diharapkan dapat memicu masuknya investasi ke daerah-daerah bersangkutan. Dengan adanya investasi, diharapkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi yang akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat.

Sayangnya, pembangunan ini masih belum mengakomodir aspirasi dari masyarakat yang berada di lokasi pembangunan. Pembangunan infrastuktur yang dilakukan pemerintah terkesan hanya menguntungkan para pemilik modal dan segelintir kelompok saja. Kebijakan pemerintah yang seharusnya untuk meningkatkan daya saing masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah, masih belum dijalankan dengan baik. Pemerintah juga belum memberi proporsi penggunaan lahan ekonomi yang jelas antara untuk masyarakat menengah ke bawah dengan para pemilik modal besar.

Beberapa proyek pembangunan seperti reklamasi pantai utara Jakarta, reklamasi Teluk Benoa, dan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung dapat menjadi contoh ketidakadilan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Belum termasuk pembangunan-pembangunan di daerah yang tidak terekspos selama ini.  Pemerintah seperti memberi ruang yang luas bagi pemilik modal untuk berusaha, namun tidak memberikan porsi yang adil bagi masyarakat lainnya.

Jika seperti ini, masyarakat menengah ke bawah hanya akan menjadi penonton dari pembangunan infrastruktur yang terjadi di daerahnya masing-masing. Ketidakadilan dirasakan oleh masyarakat yang tidak memiliki modal. Pembangunan yang tidak merata juga dirasakan masyarakat di kawasan Indonesia bagian tengah dan timur. Sumber daya alam wilayah ini dieksploitasi secara besar-besaran, namun hanya sedikit hasilnya yang dapat dirasakan oleh penduduk lokal.

Perpanjangan pengelolaan Freeport dan pembangunan Blok Masela menjadi contoh pembangunan yang diperebutkan oleh pejabat dan para cukong di belakangnya. Sementara masyarakat yang berada di sekitar kawasan sumber daya alam itu tetap melarat dan kesulitan melangsungkan kehidupannya. Aksi dari oknum-oknum pemerintahan juga memperparah kondisi yang sudah parah dengan sibuk memperkaya diri sendiri ataupun golongannya. Penyakit KKN yang sudah akut dan menyebar dari pusat hingga ke daerah, dinasti pemerintahan di berbagai daerah, dan aksi kekerasan demi memperjuangkan kursi kepemimpinan daerah seakan menunjukkan ketidaksiapan Indonesia dalam hidup bernegara dan berbangsa.

Utamakan Masyarakat
Pemerintah Indonesia harus kembali mengingat perannya sebagai pengawal pembangunan Indonesia. Pemerintah harus memberikan proporsi yang adil dan merata bagi masyarakat. Pembangunan infrastruktur tidak hanya ditujukan untuk mendatangkan investasi namun harus disertai juga dengan mempersiapkan daya saing masyarakat lokal. Permasalahan kemiskinan harus dijawab dengan membuat berbagai program yang sesuai dengan kultur lokal di tengah masyarakat. Potensi-potensi yang ada di daerah harus ditonjolkan dan ditingkatkan produksinya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di daerah tersebut. Pemerintah perlu melakukan upaya edukasi dan pendekatan kepada masyarakat sehingga Indonesia dapat menjadi rumah bersama bagi setiap orang dan pembangunan bisa semakin ditingkatkan di setiap wilayah di Indonesia.

Pembangunan Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan negara-negara lainnya. Dalam usaha mengentaskan kemiskinan dimana penduduk miskin tersebar di ribuan pulau dengan berbagai etnis, agama, dan kultur, pemerintah harus menghilangkan paradigma-paradigma primordial yang ada selama ini di dalam pemerintahan. Pemerintah juga harus mengutamakan pembangunan di daerah pedesaan serta kawasan Indonesia di luar Jawa. Dengan memahami kondisi keberagaman Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, etnis, agama, dan kultur masyarakat, upaya mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dan pembangunan yang dicita-citakan dapat diusahakan di setiap wilayah Indonesia.

* Tulisan ini dimuat di Harian Mimbar Rakyat, Jumat, 3 Juni 2016 
**Direktur Eksekutif Centre for People Studies and Advocation (CePSA), Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung


Sunday 1 May 2016

Menjadi Pendamai

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita terlibat pertikaian dengan orang lain. Sakit hati, dendam, kekecewaan, amarah, dan banyak hal lainnya menjadi biang keladi dari permusuhan. Kedamaian seakan jauh dari kehidupan kita. Kita bertikai dengan teman, guru, tetangga, bahkan keluarga atau orangtua kita sendiri.

Yesus datang ke dunia untuk memberikan kasih dan membawa kedamaian bagi setiap orang. Dia datang tidak hanya untuk mengajarkan apa kasih itu, tapi juga menunjukkannya melalui kehidupan-Nya. Dia hidup di dunia bukan hanya untuk meminta manusia mewujudkan kedamaian, tapi Dia juga mencontohkannya. Yesus meruntuhkan setiap tembok yang berusaha membelenggu hadirnya kedamaian di tengah kehidupan manusia.

Dia mendamaikan perselisihan antara orang Yahudi dan orang Samaria dengan meminum air dari timba perempuan Samaria (Yoh 4: 1-42). Yesus mendamaikan para penderita kusta dengan masyarakat Yahudi yang terikat hukum adat dimana para penderita kusta harus disisihkan dan dikeluarkan dari kota (Luk 5: 12-16, Luk 17: 11-19). Yesus juga memberi kedamaian kepada orang-orang yang dianggap sebelah mata; para pemungut cukai, pelacur, janda, anak-anak, orang buta, lumpuh, dan lainnya. Yesus menunjukkan bahwa kasih dan kedamaian harus dirasakan oleh setiap orang. Dan diakhir hidupnya, sebagai puncak dari perjalanan hidupnya, Yesus menjembatani hadirnya kedamaian antara manusia dengan Penciptanya. Yesus mendamaikan manusia dan Allah, dengan mati di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga. Maka nyatalah bahwa kehidupan Yesus adalah kehidupan yang menghadirkan kasih dan damai antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan paling utama, manusia dengan Allah.

Sayangnya, dalam kehidupan kita sekarang ini, ketimbang menjadi seorang pendamai, kita lebih senang menjadi pembuat onar ataupun penyulut kemarahan. Kita mengganggu, menghasut, ataupun menjelekkan orang lain. Terkadang kita juga mendiamkan perselisihan ataupun permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Kita membiarkan keluarga kita saling bertengkar, teman kita saling menjatuhkan, ataupun lingkungan kita tercemar. Kita malah merasa puas dengan berdiam diri dan terhanyut dalam aktivitas pribadi kita.

Kehidupan Yesus sebenarnya telah memberi pelajaran hidup yang dapat kita lakukan dalam kehidupan kita. Mungkin selama ini mudah bagi kita untuk sakit hati, dendam, kecewa, dan marah kepada orang lain. Tapi, sejak kita mengenal dan memahami kehidupan Yesus, maka seharusnya kita dapat menguasai diri kita dan berbuat kebaikan yang membawa damai. Yesus telah menjadi pendamai dalam wujud manusia. Kehidupan Yesus dalam wujud manusia telah menjadi teladan nyata bagi kita, bahwa manusia yang tidak sempurna pun dapat menjadi pendamai seperti Yesus.

Maka genaplah keinginan Yesus Sang Pembawa Damai, bahwa setiap orang yang belajar dari kehidupan-Nya akan menjadi agen-agen pembawa kedamaian bagi dunia. Pembawa kedamaian bukan berarti diam ketika ada masalah di sekitarnya. Namun pembawa kedamaian harus berani bicara benar walaupun orang lain tidak suka dengan apa yang akan dikatakan, ataupun berani bertindak benar walau tidak sesuai dengan keinginan lingkungan kita. Karena Yesus berdamai bukan dengan diam melihat permasalahan, tapi berpikir, berbicara, dan bertindak melawan tirani; melawan orang Farisi, hukum adat, kematian, dan hal-hal lainnya.

Jika keluarga kita sampai sekarang masih sering bertengkar, kita tidak hanya diam, namun menenangkan dan mendamaikan keluarga kita. Saat rekan kita saling menjelekkan, kita tidak ikut-ikutan menjelekkan melainkan menjadi penengah di antara mereka. Waktu teman kita dikucilkan karena ketahuan berbuat salah, kita seharusnya tetap berteman dan membantu teman kita untuk berubah menjadi lebih baik. Bahkan jika kita melihat orang lain bahkan pemerintah melakukan ketidakadilan terhadap orang lain, kita berani untuk bersuara dan menyatakan apa yang dilakukan orang lain atau pemerintah ini merupakan hal yang salah.


Menjadi pendamai merupakan panggilan setiap orang percaya. Kita tidak bisa membantah atau menolak kewajiban kita menjadi pendamai. Lingkungan dan masyarakat di sekitar kita saat ini banyak mengalami tantangan dan permasalahan. Maukah kita menjadi pendamai bagi mereka?

Tuesday 26 April 2016

Mencari Pahlawan Pembangunan Daerah

Oleh: Sahat Martin Philip Sinurat*

Pada pembukaan UUD 1945, tertulis “… kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …”. Pembangunan nasional tidak boleh pandang bulu dan harus dirasakan “segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh tumpah darah Indonesia”. Rakyat Indonesia adalah fokus utama dari pembangunan. Tugas dari pemerintah adalah untuk melindungi serta melakukan pembangunan bagi segenap bangsa Indonesia.

Dalam melakukan tugasnya, pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, membutuhkan orang-orang yang siap berjuang dan berbuat untuk kepentingan bersama. Mereka bekerja dengan ikhlas, bahkan terkadang mengorbankan kepentingan mereka sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyebut orang-orang yang rela berjuang dan berkorban bagi orang lain sebagai pahlawan. Maka saat ini, di dalam pemerintahan pun kita sangat membutuhkan para pahlawan yang siap mengatur dan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat dan konstitusi.

Bukan Berkedok Pahlawan
Sayangnya, di tengah kebutuhan kita akan pahlawan pembangunan, ada saja orang-orang yang mengaku sebagai pahlawan namun justru membawa kesengsaraan. Mereka berkostum pahlawan padahal sebenarnya merekalah musuh yang harus dilawan. Ada yang mengesankan dirinya sebagai penyelamat, nyatanya justru membawa mudarat. Ada juga yang menunjukkan diri sebagai pembela keadilan, padahal mereka yang justru melakukan kesewenang-wenangan. Tidak jarang mereka juga menjadi perampok yang bertopeng pahlawan.

Mereka berkedok pahlawan, padahal pembangunan yang adil dan merata masih menjadi mimpi bagi jutaan rakyat Indonesia. Mereka berupaya menokohkan diri, padahal korupsi dan nepotisme menjadi aktivitas mereka sehari-hari. Mereka meneriakkan keadilan padahal mereka menutup mata terhadap ketidakadilan dan intoleransi yang terjadi di hadapan mereka. Mereka seakan bersahabat dengan rakyat, padahal sebenarnya berteman dan membantu para koruptor dan pengusaha hitam yang menghisap kesejahteraan rakyat.

Para penjahat bertopeng pahlawan ini menempati berbagai bidang pembangunan. Akibatnya hal-hal baik yang dilakukan pemerintah menjadi kusut karena tingkah laku mereka. Mereka mencari kesempatan di dalam kesempitan. Tidak jarang juga mereka menjadi pahlawan kesiangan.

Pahlawan berkedok ini sibuk memperkaya diri sendiri ataupun golongannya. Mereka menyebarkan virus penyakit KKN sehingga menjangkiti masyarakat. Mereka juga membenarkan berbagai cara; korupsi sekaligus berderma, mendukung padahal merendahkan, menolak sogokan padahal menerima.

Jeli Memilih Pahlawan
Untungnya, tidak semua orang mau menjadi penjahat berkedok pahlawan. Ada lebih banyak rakyat Indonesia yang ingin menjadi pahlawan sejati, pahlawan yang ikhlas berjuang dan berkorban bagi kepentingan bersama. Sebagian di antara mereka sudah dan sedang melakukan tugas kepahlawanannya. Mereka melawan korupsi, menolak ketidakadilan, dan menentang intoleransi. Mereka menyuarakan pentingnya etika, kejujuran, dan ketulusan. Mereka melindungi masyarakat tertindas. Mereka memikirkan nasib dan masa depan bersama, tidak hanya diri mereka sendiri.

Mereka menjadi pahlawan sesungguhnya. Mereka melanjutkan jejak para pejuang yang rela berkorban demi kehormatan dan kemerdekaan rakyat dan bangsa Indonesia. Mereka menjadi pahlawan yang dibutuhkan dan dirindukan rakyat. Pemerintahan pun dapat berjalan baik di bawah kepemimpinan para pahlawan pembangunan ini.

Sebagian pahlawan sudah memulai pengabdiannya, namun masih banyak lagi yang masih menanti panggilan tugasnya. Oleh karena itu, rakyat memiliki peranan penting dalam menentukan siapa saja yang diberi wewenang untuk menjadi pemerintah. Menjadi waktu yang tepat bagi rakyat karena pemilihan kepala daerah serentak akan dilakukan beberapa bulan mendatang. Namun ada hal-hal yang harus dituntaskan di tengah masyarakat Indonesia sehingga saat pemilihan kepala daerah nanti, dapat ditempatkan pahlawan-pahlawan pembangunan yang siap membela dan berkorban bagi kepentingan masyarakat dan konstitusi.

Setiap rakyat Indonesia harus mampu menentukan pemimpin dengan tepat. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah tugas satu-dua hari. Tugas tersebut tidak dapat tuntas hanya dengan janji-janji saat kampanye ataupun lembaran uang kertas yang dibagikan menjelang pemilihan. Tugas pembangunan tersebut harus dilakukan bertahun-tahun dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki track record yang baik; berintegritas, jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan mencintai Indonesia. Rakyat Indonesia harus bisa menilai dengan kritis dan tidak mudah dipengaruhi oleh janji dan lembaran uang semata. Nasib pembangunan bagi rakyat Indonesia bukanlah berada di tangan pemerintah melainkan justru ada di atas tangan rakyat itu sendiri.

Beberapa bulan lagi, beberapa daerah di Indonesia termasuk kota dan kabupaten di Maluku akan melakukan Pilkada serentak 2017. Rakyat membutuhkan pahlawan pembangunan yang siap membawa perubahan bagi masyarakat. Dengan kekritisan dari rakyat dalam menentukan pemimpin yang akan mengisi pemerintahan, bukanlah impian jika beberapa tahun mendatang kita akan merasakan kebijakan-kebijakan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Namun para pahlawan pembangunan akan mampu melakukannya di dalam pemerintah yang adil apabila didukung rakyat yang kritis dan peduli terhadap permasalahan bangsanya.

Opini ini dimuat di Harian Mimbar Rakyat Maluku, Senin, 25 April 2016
* Direktur Eksekutif dan Peneliti di Centre for People Studies and Advocation (CePSA)

Saturday 23 April 2016

Kehidupan Bersaksi dan Melayani

“Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.
Petikan diatas merupakan sepenggal kalimat dari lantunan indah Doa Bapa Kami yang telah diajarkan Yesus Kristus kepada para murid. Dari buku ‘Orang Nasrani, Pandu Bangsamu!’ karya Samuel Tumanggor, petikan tersebut secara langsung menunjukkan kehendak Allah yang tidak hanya terbatas di lingkup surga saja, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana agar kehendak-Nya juga terjadi di bumi. Tanggung jawab untuk bisa menjadikan kehendak-Nya di bumi merupakan tugas yang diemban para murid saat itu, yang tentunya hingga sekarang masih terus berlanjut, dan tanggung jawab itu diemban oleh kita saat ini.

“Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Petikan ini menunjukkan keinginan yang sangat besar dari Allah agar bumi dapat seperti surga. Untuk mencapai keinginan-Nya inilah maka setiap manusia ditetapkan ada, diciptakan sesuai dengan tujuan hidupnya masing-masing agar kemuliaan nama-Nya nyata di muka bumi, inilah tujuan hidup Kristen.

Sebagai umat Nasrani yang telah mengetahui Berita tentang Kasih Anugerah yang sangat besar itu, sudah selayaknya setiap orang Kristen menjalankan panggilannya, tujuan hidupnya, sesuai dengan perannya masing-masing di dunia ini. Setiap orang Kristen seharusnya menjadi berkat melalui hidupnya, menjadi terang dan garam bagi dunia, menjadikan hidupnya kesaksian yang nyata tentang betapa besarnya penyertaan Allah kepada setiap manusia. Setiap orang Kristen harus menjalankan nilai-nilai kebenaran yang telah diajarkan oleh-Nya, ini semua dilakukan sebagai tindakan nyata dari iman yang besar kepada Sang Pencipta.

Dua Kewarganegaraan
Pahlawan Nasional Johannes Leimena pernah mengatakan bahwa umat Kristen memiliki dua kewarganegaraan, warga negara surga dan warga negara dunia. Peran yang dilakukan dari kedwiwarganegaraan ini haruslah seimbang, tidak timpang salah satu. Allah ingin agar manusia dapat hidup di bumi dengan memancarkan nilai-nilai surgawi. Rencana Allah akan dunia ini akan berjalan melalui peran dari kita masing-masing.

Saat ini banyak permasalahan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Sebagai umat Kristen, khususnya generasi muda Kristen yang sudah menempuh pendidikan tinggi, kita memiliki peran menjadi terang dan garam, menjadi jawaban atas setiap permasalahan yang ada di berbagai bidang kehidupan. Kita tidak cukup hanya mempersiapkan diri kita sendiri menanti hari kedatangan Yesus kembali dalam kemegahan-Nya, namun selama penantian itu, kita justru ditugaskan Tuhan untuk membangun bumi menjadi indah seperti surga. Seorang pemikir Kristen, Yonky Karman dengan tegas menyimpulkannya, “Apakah Injil hanya berurusan dengan masuk surga, sementara kita masih hidup berpuluh-puluh tahun di dunia. Apakah bukan tugas kita untuk melakukan sesuatu di dunia, yang telah Tuhan titipkan kepada kita?”.

 Inilah tujuan hidup Kristen, kehidupan yang bersaksi, dan hal ini sangat terkait erat dengan kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan aspek penting untuk mendukung efektifitas pelayanan dalam menjadi kehidupan yang bersaksi. Kepemimpinan bukanlah posisi, tetapi ‘pengaruh’. Melalui kepemimpinan, pengaruh baik yang diberikan dapat menjadi kesaksian yang indah untuk melakukan perubahan di dalam lingkungan masing-masing. Setiap umat Nasrani diharapkan menjadi pemimpin di rumah, lingkungan, kantor, gereja, dan tempat komunitasnya masing-masing.

Belajar Memimpin
Sikap kepemimpinan ada yang muncul dalam diri seseorang secara alami didorong oleh pengalaman hidup dan pengalaman dari lingkungannya. Kita harus melatih jiwa kepemimpinan kita sejak muda. Melatih jiwa kepemimpinan tidak cukup hanya dengan membaca teori. Kita harus mau juga untuk menjalaninya. Kita sebaiknya aktif dalam organisasi, lembaga, persekutuan, ataupun komunitas di sekitar kita. Kita turut mengambil bagian dalam program ataupun kegiatan yang sedang dikerjakan. Bahkan kita juga harus berani mengambil tanggung jawab yang besar dan menjalaninya dengan sepenuh hati.

Bertanggung jawab di organisasi merupakan salah satu latihan penting dalam kepemimpinan. Kita belajar tentang kerjasama tim, komunikasi efektif, mengelola tim, empati dan kepekaan sosial, serta pengalaman menghadapi masalah. Kita juga bisa melatih kemampuan menulis, public speaking, dan teknik pemecahan masalah. Dan yang paling utama, kita dapat belajar dan melatih integritas dan kejujuran kita sejak muda.

Dengan latihan dan usaha yang terus-menerus, diharapkan nilai-nilai kepemimpinan itu dapat menjadi karakter dalam diri kita. Dengan karakter yang baik, kita dapat menjadi saksi yang baik. Ketika tiba waktu kita untuk terjun ke tengah masyarakat, kita akan siap mengabdi dimanapun Tuhan menempatkan kita. Kita mampu menunjukkan jiwa kepemimpinan kita di bidang yang kita geluti. Kita akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada di pekerjaan kita, melakukan perubahan, mencari regenerasi untuk meneruskan perubahan tersebut, dan terus berusaha hingga jadilah kehendak Allah di bumi seperti di surga.

Thursday 17 March 2016

Menantang Kepemimpinan Kristen

Buku ini berjudul Isu – Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen, diterjemahkan dari judul aslinya Issues Facing Christians Today. Ditulis oleh Rev. John Stott, namanya pernah tercatat dalam majalah Time 2005 sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia.

Prestasi prestasi yang di raihnya tak pelak membuatnya begitu dikenal bukan saja di kalangan gerejawi, tetapi membawa pengaruh bagi dunia. Buku karyanya ini sudah mengalami cetak ulang keempat (2005) dengan jumlah 479 (empat ratus tujuh puluh sembilan) halaman.

Buku ini terdiri dari tujuh belas bab yang membahas tentang isu-isu yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Yang menarik, buku ini sudah dituliskan beberapa puluh tahun lalu, namun masih kontekstual dan sesuai dengan permasalahan dunia di masa sekarang.

Beberapa isu yang masih banyak dibahas hingga dewasa ini, antara lain:
Bab 1: Keterlibatan Orang Kristen Dalam Masyarakat: Apakah Perlu? Bab 3: Pluralisme: Apakah Harus Kita Paksakan Pandangan-Pandangan Kita? Bab 5: Ancaman Nuklir Bab 6: Lingkungan Hidup Manusia Bab 7: Ketimpangan Ekonomi Utara-Selatan Bab 8: Hak-hak Asasi Manusia
Bab 9: Masalah Kerja dan Pengangguran Bab 10: Hubungan-hubungan Industrial Bab 11: Mimpi Tentang Masyarakat Multi Rasial Bab 13: Wanita, Pria dan Allah Bab 14: Perkawinan dan Perceraian Bab 16: Pasangan Hidup Homoseksual? Bab 17: Kepemimpinan Kristiani

Sekarang ini dunia sedang mengalami berbagai permasalahan seperti permasalahan global (peperangan, persenjataan nuklir, pelanggaran HAM), permasalahan sosial (pengangguran, masalah ekonomi, masalah rasial, moralitas), dan permasalahan spiritual (pengaruh materialisme dan minimnya kualitas dan kuantitas kepemimpinan). Untuk menghadapinya, John Stott memberikan lima unsur esensi kepemimpinan (lebih rinci di Bab 17), yakni Visi, Kerajinan Bekerja, Ketekunan, Pelayanan, Disiplin.
Di halaman 88, John Stott memberikan pernyataan yang sangat renyah dan tepat menjadi refleksi kita; Jika rumah menjadi gelap karena malam tiba, tidak ada gunanya menyalahkan rumah itu, sebab itulah yang terjadi kalau matahari tenggelam. Pertanyaan yang perlu kita ajukan ialah:
Buku ini masih banyak beredar di toko buku. Silakan dicari dan dilahap oleh teman sekalian.
'Dimana lampu-lampunya?' Jika daging menjadi busuk dan tak termakan lagi, maka tidak ada gunanya menyalahkan daging itu, karena itulah yang terjadi bila kuman-kuman dibiarkan membiak di dalamnya. Pertanyaan yang harus dikemukakan ialah: 'Dimana garam-garamnya?'

Saya sangat merekomendasikan teman-teman memiliki buku ini. Silakan dicari di toko buku terdekat. :D

Wednesday 10 February 2016

Teman, Sahabat, Saudara, Aku

Saat baru masuk kuliah, beberapa belas tahun yang lalu, para senior jurusan mengajarkan kami sebuah jargon persaudaraan.

"Temanku adalah sahabatku, sahabatku adalah saudaraku, saudaraku adalah aku. Satu dipukul, semua balas memukul."

Pertama mendengar jargon ini, pikiran liar dan rasa kuatir pun bergejolak. "Baru masuk kuliah sudah diajarin pukul memukul. Gawat ini," benakku. Seakan membaca pikiran kami, sang senior langsung mengklarifikasi makna jargon ini. Dia menjelaskan, bahwa teman-teman kita harus dianggap seperti sahabat, bahkan saudara sendiri. Dan ketika kita menganggap seseorang seperti saudara kita, kita akan memperlakukannya seperti diri kita sendiri. Pertanyaannya, adakah manusia normal yang menyakiti dirinya? Tentu tidak. Maka itulah maksud kalimat terakhir. Kalimat terakhir di jargon ini memiliki makna tersirat (konotasi). 

Aku tidak mau 'aku' mengalami kesedihan, kekecewaan, kekalahan, kekuatiran, penderitaan, dll, maka aku akan menolong 'aku' jika dibutuhkan. Bahkan aku akan menawarkan pertolongan kepada 'aku' tanpa diminta. (Silakan ganti kata 'aku' dengan nama teman-teman kamu)

Menurutku, inilah makna ideal Persaudaraan yang Menghidupkan. Persaudaraan yang saling mendukung, membantu, dan bersama-sama memberi manfaat dan dampak bagi lingkungan sekitar. Saling baku tolong, bukan baku hantam. Dan itu bisa terjadi kalau kita menganggap teman kita seperti diri kita sendiri. Sekali lagi, selamat Dies Natalis ke-66 GMKI. Mari 'aku-aku' (baca: saudara-saudara) semua, kita lebih semangat lagi belajar dan berkarya. :)

Foto bersama 'aku-aku' GMKI Bandung di Ibadah dan Perayaan Dies Natalis ke-66 GMKI di Graha Oikumene, Salemba :)