inspirasi

inspirasi

Sunday 26 September 2010

Berdirilah Teguh, Jangan Goyah

Seminggu ini sepertinya membaca dan mendengar banyak hal tentang kepedulian dan berbagi kasih dengan sesama. Berawal dari note yang ditulis dek sandra, note yang dibuat oleh kak irene (selamat ren sudah lulus,selamat berkarya ya), dilanjutkan tema PA minggu ini di GMKI, dan juga tema jumatan PMK minggu ini. Dunia semakin apatis dan setiap orang sering hanya memikirkan diri sendiri termasuk saya sendiri pastinya. Sebelum sampai pada akhirnya, mungkin aku coba menyimpulkan apa yang bisa kusimpulkan dari keempat hal diatas.

Setelah mencoba mengambil kesimpulan dari keempat hal diatas, hal yang sangat menarik ketika  menyadari bahwa keempat hal diatas tadi seperti membentuk suatu alur dari kecil ke besar.

Pada note sandra , salah satu kesimpulan yang bisa kusimpulkan (maaf kalau salah menyimpulkan dek, kurang atau lebih jangan dikoreksi disini ya, malu, haha) adalah tentang semakin menyebarnya virus ketidakpedulian di masyarakat saat ini, terkhusus yang disorot adalah kaum pemuda. Pemahaman tentang kasih sudah terdistorsi, dan melalui tulisan ini kita, para pemuda-pemudi yang tahu defenisi sebenarnya dari kasih dan kepedulian diajak untuk mau terus mengaplikasikan hal tersebut dalam kehidupan di lingkungan kita masing-masing. Untuk kesimpulan yang lebih lanjut, dapat membaca langsung di link ini. (http://www.facebook.com/notes.php?id=1373377815&notes_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=438911219729)

Pada note irene, satu kesimpulan yang bisa kuambil (maaf juga kalau salah ya ren) adalah walaupun mungkin tinggal sedikit, tapi keramahtamahan, salah satu implementasi dari kasih, masih ada terdapat di sekitar kita, bahkan dari orang-orang yang tidak kita duga seperti dari orang yang tidak kita kenal, dari teman-teman yang tidak seiman, dan lainnya. Kita sendiri, bagaimana sikap kita? Di tulisan ini, penulis lebih menyoroti tentang bagaimana anak-anak PMK, LP, atau secara umumnya pemuda-pemudi Kristen menanggapi hal ini. Apakah terus bersikap tidak peduli dan hanya mau berinteraksi dengan orang yang itu-itu saja? Atau mau untuk keluar dari zona nyamannya, melepas arogansi diri, berinteraksi dengan teman-teman kita yang lain, seluas-luasnya, sebanyak-banyaknya, dari latar belakang apapun mereka. Lebih lanjut dapat teman-teman baca dan diskusikan langsung dengan penulisnya (hehe) di link ini. (http://www.facebook.com/note.php?note_id=429575603923)

Pada tema PA minggu ini di GMKI yang kucoba simpulkan, kita, dalam hal saat itu aku, kembali diajarkan bagaimana cara untuk bisa peduli dan berbagi kasih dengan sesama. Intinya hanyalah satu kalimat, kalimat yang terdiri dari empat kata dan hanya membutuhkan dua detik untuk mengucapkannya. Namun dalam mengaplikasikannya, wow, sangat berat tentunya kalau kita bersandar pada kemampuan kita sendiri. Kalimat apa itu? Hidup seperti Dia hidup. Bagaimana teman? Cukup dua detik saja kan mengucapkannya, kalau lebih lama dari dua detik, sepertinya harus coba belajar mengeja lagi (just kidding,^^), namun dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, butuh perjuangan yang sangat berat kawan. Hidup seperti Dia hidup, sepertinya tidak perlu dijabarkan lagi seperti apa Dia hidup. Andai setiap kita di dunia ini bisa mengimplementasikannya, dunia ini pastinya akan sempurna, dan tidak perlu ada tulisan yang aku tulis ini, ataupun sandra dan irene tulis. Setiap orang saling peduli satu sama lain, dan lebih luasnya lagi, semua negara akan hidup makmur, bahkan hukum pun tidak dibutuhkan lagi karena siapa lagi yang mau melanggarnya, karena setiap orang sudah peduli, setiap orang tidak mementingkan dirinya sendiri. Sebuah utopia terjadi di bumi ini. Apakah itu mungkin terjadi di muka bumi ini? Tentunya sulit karena dunia sudah dipenuhi oleh kejahatan (dosa). Tapi apakah karena sangat sulit, akhirnya kita sendiri juga memilih untuk tidak melakukan apa-apa dalam merealisasikannya, kita yang sudah tahu seperti apa Dia hidup, namun memilih untuk hanya sekedar diam, dan menyimpan setiap hal yang kita ketahui itu dalam ingatan kita saja. Kalau begitu, apa gunanya Dia mengajarkan itu semua kepada kita, dan kita tahu tentang hal itu kalau toh kita tidak melakukan apa. Dia yang dulu menolong orang-orang, orang yang tidak dikenalnya, berbeda suku dengan dia, bahkan orang-orang yang membencinya. Dia yang selalu membagikan kepedulian dan kasih kepada sesama, apakah bukan bagian kita juga melakukan hal yang sama? Kalaupun dunia ini begitu apatis, apakah pada akhirnya akan membuat kita juga menjadi apatis, dan menyia-nyiakan semua hal yang sudah Dia ajarkan kepada kita. Ajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan itu.
Kurang lebih seperti itu kesimpulan yang bisa kuambil dari PA kemarin. Sayang, kali ini tidak ada linknya. Jadi percaya saja pada apa yang kutulis ini. Haha.

Yang terakhir sebelum pada akhirnya, jumatan minggu ini di PMK. Tiba di puncak dari semua alur ini. Bagaimana kita peduli dengan bangsa ini. Bagaimana kita bisa berdampak bagi bangsa ini, melakukan perubahan untuk bisa membangun lagi bangsa kita yang telah Tuhan kita berikan pada kita. Jumatan ini adalah jumatan yang spesial menurutku, karena untuk pertama kalinya selama aku mengikuti jumatan PMK (kalau ternyata salah, mungkin saat itu terjadi, aku gak datang jumatan) kebaktian dilakukan bukan dengan metode kebaktian biasa, tapi dengan metode diskusi interaktif, tanpa pembicara, mahasiswalah yang berbicara. Diawali dengan pemutaran dua buah slide, dan kemudian pemimpin pujian, Mordekhai, menantang setiap mahasiswa yang hadir untuk maju ke depan membagikan apa yang bisa dibagikan. Ada tiga orang yang maju kemarin itu, dua orang dari angkatan 2010 (salut dengan semangat dan keberanian kalian) dan satu dari angkatan 2007 (kalau yang satu ini memang tidak tahu malu,hehe), dan kesimpulan yang bisa diambil dari ketiganya, setiap mereka mengajak kita untuk lebih peduli lagi dalam membangun bangsa ini, menggunakan kesempatan yang sangat berharga saat ini untuk belajar dan menambah pengetahuan karena bekal inilah yang akan kita butuhkan untuk membangun bangsa kita ini setelah kita lulus nanti.

Saat itu sebenarnya ingin maju juga untuk coba membagikan apa yang bisa kubagikan terkait tema jumatan kali ini, tapi apa daya, hati ingin melakukan, tapi kaki menahan setiap langkahnya. Grogi sepertinya berdiri di depan. Mungkin memang bukan bagian saya untuk berdiri di depan dan berbicara. Sepertinya posisi sekarang sudah tepat, duduk di atas kursi dan mencoba menuliskan sesuatu yang bisa kubagikan kepada rekan-rekan yang berminat membacanya. Dan berharap rekan-rekan bisa menemukan hal yang baik dari tulisan ini dan membagikannya kepada kawan-kawan yang lain. Semoga terus ada 2010-2010 lain (aku lupa nama mereka dua yang maju kemarin), Arion-arion lain, Mordekhai-Mordekhai lain, yang berani dan mau untuk mengeluarkan pemikiran mereka, dan mengajak rekan-rekan yang lain untuk bergabung melakukannya. Kenapa itu perlu, akan kita bahas pada akhirnya. Inti kesimpulan dari jumatan ini, apakah bukan tugas kita untuk bisa mengatasi kebobrokan dari bangsa kita ini, apakah bukan tugas kita untuk bisa peduli kepada nasib bangsa ini, ataukah kita cukup nyaman dengan aktivitas kita sehari-hari?
Hidup seperti Dia hidup. Tentunya melalui integritas yang telah Dia ajarkan kepada kita, itu juga dapat kita implementasikan dalam kehidupan kita untuk menjadi jawaban atas setiap permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Mungkin itu kesimpulan yang bisa saya ambil dari jumatan kemarin, lebih kurang bisa langsung tanya ke pemimpin pujian atau koordinator PMK. Hehe. Oiya, untuk coba sama-sama kita memikirkan tentang hal ini, teman-teman bisa membuka link ini, salah satu slide yang diputar pada jumatan kemarin dan semoga melalui slide ini, kita semua semakin sadar bahwa peran kita sangat dibutuhkan untuk mengubah bangsa ini. Selamat menikmati videonya. (http://www.facebook.com/notes.php?id=1382956990&notes_tab=app_2347471856#!/video/video.php?v=1629826230534)

Tiba di akhir cerita. Kita sudah berjalan-jalan dari note sandra hingga jumatan PMK dan sudah berdiri di puncak alur. Pada akhirnya, sudah berada di akhir alur dan sudah berada di puncaknya, tujuan dari ini semua. Apalagi yang masih kurang? Sedikit dari saya untuk coba melengkapi keempat hal tadi. Tantangan terberat selanjutnya yang akan kita hadapi, terpaan angin yang sangat kuat dari kiri dan kanan yang menggoyahkan pendirian kita. Akhir dari saya, Berdirilah teguh, jangan goyah.

Berdirilah teguh, jangan goyah. Sebuah kalimat yang terus terngiang di pikiranku selama beberapa bulan ini, dan ternyata memiliki makna yang sangat mendalam. Kenapa sangat mendalam? Mungkin melalui berbagai kasus, musibah, dan peristiwa yang terjadi beberapa bulan ini di bangsa kita, membuat kita, dalam hal ini aku, memiliki keinginan untuk coba melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsa ini ketika aku nanti terjun ke dalamnya. Dan perasaan dan tekad itu mungkin juga kawan-kawan rasakan dan kita semua sudah memiliki keinginan tekad yang elips. Dan mungkin melalui tulisan diatas dan video yang telah kawan-kawan lihat, tekad kita yang sudah membentuk elips itu menemukan keutuhannya dan menjadi bulat dan semangat itu ada di dada setiap kita. Namun, perasaan dan tekad yang sudah kita rasakan sekarang, seharusnya tidaklah sebatas sekarang saja, tapi terus dipertahankan hingga akhir nanti. Karena itulah kuncinya. Karena begitulah yang sering terjadi, perasaan dan tekad untuk mengubah bangsa yang sudah dibangun pada saat mahasiswa, sering hilang lenyap tak tersisa ketika sudah berhadapan dengan dunia sebenarnya. Di saat-saat inilah semangat itu harus terus kita jaga. Berdirilah teguh, jangan goyah.

Selain mempertahankan semangat itu, saatnya juga untuk melakukan hal lainnya yang tidak kalah penting. Mengajak rekan-rekan yang lain untuk juga bisa merasakan perasaan dan tekad yang sama. Karena akan sangat berat melakukan hal itu sendiri, ataupun berdua, ataupun bertiga. Dan pendirian kita juga akan semakin mudah digoyahkan. Dibutuhkan barisan sebanyak-banyaknya, semakin banyak pemuda-pemudi yang memiliki semangat yang sama ini, maka akan semakin kuat kita berdiri, dan akan semakin besar dan cepat kans bangsa ini berubah menuju arah yang lebih baik.

Bagaimana cara mengajak rekan-rekan kita? Tentunya dengan bertukar pikiran, berdiskusi, mencoba membagikan semangat yang sudah kita punya kepada mereka dengan berbagai metode. Tanpa pandang latar belakang, suku,agama, ras, atau apapun, saatnya kita menghimpun pemuda-pemudi yang mempunyai keinginan yang sama, membangun bangsa ini.

Dimana melakukannya? Tentunya tidak akan bisa apabila kita hanya bergelut di kosan, ataupun berkeliaran di jalanan. Saatnya masuk ke himpunan jurusan, unit-unit budaya, kajian, olahraga, serta organisasi-organisasi kemahasiswaan ataupun sosial lainnya. Saatnya masuk kesana, dan berbagi tentang hal ini. Saatnya melakukan diskusi-diskusi, kajian ilmu, bakti sosial, pengabdian masyarakat, ataupun hal-hal lainnya yang sesuai dengan ciri khas organisasi tersebut.

Untuk apa kita melakukan hal-hal tersebut? Mungkin semua hal yang kita lakukan ini tidaklah menghasilkan hal yang signifikan bagi perubahan masyarakat saat ini, tapi satu yang menjadi poin sangat penting yang bisa didapat adalah melalui metode-metode itu kita bisa semakin menanamkan perasaan dan tekad yang sudah kita miliki ini ke rekan-rekan kita yang lain. Mereka yang mengikuti kegiatan-kegiatan itu tentunya diharapkan bisa memaknai tujuan dari kegiatan-kegiatan ini dan pada akhirnya makna dan semangat itu terus mengalir di urat darah mereka hingga tiba di dunia kerja nantinya. Mungkin awalnya barisan kita hanya 20 orang, namun ketika kita melakukan hal diatas, barisan kita akan terus bertambah dan mimpi kita, Indonesia yang makmur dari Sabang sampai Merauke akan semakin mendekati kenyataan.

Saat-saat ini mungkin kita tidak bisa melakukan sesuatu yang sangat besar yang dapat langsung mengubah bangsa ini secara drastis, tapi sekaranglah saatnya kita belajar dan juga memperkuat barisan, sehingga ketika tiba waktunya, barisan kita akan kuat, dan senjata yang kita gunakan tidak hanya sebatas omongan saja, tapi kita juga sudah dibekali pemahaman dari keilmuan kita, soft skill, dan kemampuan-kemampuan lainnya dan itu semua bisa kita usahakan saat ini, bukan nanti, tapi saat ini.
Ketika kita sudah memutuskan untuk berjuang membangun bangsa, tapi kita sekarang tidak mengajak kawan-kawan kita yang lain untuk berjuang bersama, itu sama saja dengan bunuh diri. Tidak salah memang, tapi tanpa persiapan. Sulit untuk mengubah bangsa yang tersebar dari Sabang dari Merauke, dengan segala kebobrokannya kalau jumlah kita hanya 20,50, ataupun sebanyak mahasiswa yang datang jumatan kemarin. Tapi akan sangat besar kemungkinan apabila setiap kita mengajak kawan-kawan kita yang lain, setiap satu orang mendiskusikannya dengan yang lain, maka barisan kita akan semakin kuat.
Seperti apa memberitahukannya? Seperti yang sudah dituliskan diatas, aktif di unit, himpunan, organisasi kemahasiswaan lainnya dan melakukan kegiatan-kegiatannya yang membuat kita dan juga rekan-rekan kita bisa belajar menemukan dan memupuk semangat itu.
Ada beberapa himpunan jurusan yang sudah memiliki program pengabdian masyarakat sendiri, apakah teman-teman terlibat di dalamnya? Apakah semangat pengabdian itu hanya dibutuhkan pada saat mahasiswa saja?
Banyak himpunan yang belum memiliki program pengabdian masyarakat, termasuk himpunanku. Apakah kita hanya tinggal diam saja?
Banyak unit-unit yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa menimbulkan semangat melakukan perubahan sesuai ciri khas nya masing-masing. Ada unit yang memiliki kepedulian tentang lingkungan hidup. Seperti teman-teman tahu, kepedulian terhadap lingkungan hidup masih sangat kurang di bangsa kita. Ada unit yang mendiskusikan tentang isu-isu sosial masyarakat. Ada unit yang melestarikan seni dan budaya karena seni dan budaya itu sendiri bisa dimanfaatkan sebagai media untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, dan banyak organisasi-organisasi lainnya yang memiliki ciri khas masing-masing.
Apakah kita sudah berperan di dalamnya atau memilih untuk melihatnya saja? Karena melalui inilah kita bisa semakin memperdalam semangat kita dan juga membagikan semangat kita itu kepada yang lain.

Bagaimana kawan, jalan mana yang kau pilih? Berjuang sendiri, atau berjuang dengan barisan yang kuat?

Berdirilah teguh, jangan goyah.
Sampai sekarang pun aku masih sering takut dan ragu kepada diriku, apakah aku hanya akan menjadi seseorang yang OMDO, omong doang, menuliskan tentang kepedulian kepada bangsa, tapi ketika nanti aku benar-benar dihadapkan dengan kondisi yang ada, aku hanya terdiam saja dan tidak mampu melakukan apa-apa. Disinilah kita saling mendukung, saling menguatkan, agar barisan kita tetap kokoh, hingga akhir nanti dan kita bisa bersama-sama terus berdiri teguh, jangan goyah.

Akan sangat menyenangkan membayangkannya ketika kita semua, para pejuang ini bisa menyelesaikannya hingga akhir, berjuang di medan perjuangan kita masing-masing, tentunya dengan barisan yang kuat, dan mengakhirinya dengan indah, kita bisa melakukan perubahan, sekecil apapun itu, bagi bangsa kita ini. Dan disinilah terjawab kenapa dibutuhkan 2010-2010 lain, Mordekhai-Mordekhai lain, Arion-Arion lain, yang berani dan mau untuk mengajak rekan-rekan yang lain, sehingga barisan kita bisa semakin kuat, dan semakin kuat lagi, untuk melakukan perubahan bagi bangsa ini.

Sungguh sangat menyenangkan ketika kita bisa berkata-kata seperti Paulus, ‘aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman’. Pertandingan yang tentunya akan penuh dengan tantangan dan permasalahan teman.
Mari kita saling mendukung dan menguatkan dalam menghadapi pertandingan ini kawan. Dan sekarang ini saatnya mempertajam kualitas diri dan memperkuat barisan, agar kita bisa terus BERDIRI TEGUH, JANGAN GOYAH.

Selamat menjalani pertandingan teman-teman,
Semoga senyuman yang akan tampak dari setiap wajah kita, di akhir pertandingan nanti.

Salam perjuangan...

Saturday 25 September 2010

Monkey bar, kisah perjuangan seorang anak

Saat ini sedang membaca sebuah buku dan ingin berbagi dengan rekan-rekan sedikit kutipan yang aku dapat dari buku ini. Semoga bermanfaat bagi teman-teman semua. Selamat menikmati.


Seorang anak laki-laki bernama Peter, berumur empat atau lima tahun sedang bermain-main di taman bersama orangtuanya. Ia kemudian segera berlari ke tempat favoritnya.

“Tolong angkat saya pada monkey bar (bangunan yang terdiri atas tiang-tiang besi untuk anak-anak panjat dan bermain),” katanya. Kemudian orangtua Peter mengangkat dia ke atas, dan ia menggapai monkey bar itu, dan orangtua itu pun melepaskan dia.
Sepatu Peter yang kecil bergantung sekitar 1,5 meter dari tanah, dan ia sangat bangga. Ia bergantung sendirian dengan senyuman lebar pada wajahnya.

Setelah kurang lebih semenit ia menjadi capai dan berkata, “ Oke, tolong turunkan aku.”

Sang orangtua berkata, ”Peter, lepaskan saja peganganmu, dan aku akan menangkapmu.”

Wajah Peter tampak cemas dan ia berkata, ”Tidak, turunkan aku.”

Sang orangtua berkata, “Peter, jika kamu melepaskan tanganmu, aku akan menangkapmu.”

“Tidak, tolong turunkan aku.”

“Peter, aku menyayangimu. Aku berjanji, aku akan menangkapmu.”

Namun Peter tetap berpaut dengan segenap kekuatannya. Ia terus berpaut sampai buku jarinya menjadi pucat dan ia tidak dapat berpaut lagi lebih lama. Akhirnya, ia melepaskan tangannya, dan orangtua tersebut menangkapnya.

Senyuman lebar tersembul di wajahnya, dan ketika dia didudukkan, ia kembali berlari untuk bermain ayunan. Dan ia segera melupakan semua yang baru saja terjadi.


Pesan apa yang dapat kita ambil dari cerita di atas?

Melalui pesan ini, Allah seakan-akan hendak berkata, “Seperti itulah cara kamu berhubungan dengan-Ku. Kamu berpaut habis-habisan dan berusaha untuk melakukan segala sesuatu dengan kekuatanmu sendiri. Kamu terus bergumul, berusaha mengontrol segala sesuatu, berusaha membuat segala sesuatu tepat seperti yang kau inginkan, berusaha menyenangkan orang-orang, berusaha mengontrol setiap situasi. Kamu berpaut dan berpikir tidak ada orang yang akan menangkapmu sehingga kamu lebih baik menggenggam lebih kuat dan berpaut lebih kuat. Sementara kamu tergantung di sana dan buku-buku jarimu berubah jadi pucat, Aku berkata, ‘Lepaskan tanganmu, dan Aku akan menangkapmu. Lepaskan saja tanganmu. Aku berjanji, Aku menyayangimu, dan Aku akan menangkapmu’. Begitu sering dirimu berpaut dan tidak mau melepaskan genggamanmu, dan ketika genggamanmu terlepas, Aku pasti selalu ada di sana, menangkapmu. Namun setelah dirimu tersenyum atas pertolongan-Ku, di saat itu juga selalu kau segera melupakannya dan kembali berpaut di monkey bar itu dan tidak mau melepaskan genggamanmu ketika kau lelah. Kau selalu mengandalkan dirimu, berusaha untuk melakukan segala sesuatu dengan kekuatanmu sendiri. Tapi, Aku tetap dan selalu mengasihimu. Percayalah, Aku selalu ada disana. Dan ketika genggamanmu terlepas, Aku akan selalu ada menangkapmu.”

(dikutip dari buku One Month to Live karya Kerry & Chris Shook dengan perubahan seperlunya)



Mari kita jangan membatasi kemampuan diri kita, tapi jangan juga hanya mengandalkan kemampuan kita sendiri.
Selalu berserah dan percayakan kepadaNya segala permasalahan yang sedang kita kerjakan.
Semangat menjalani hari-harimu.

Saturday 18 September 2010

Panggilan dari Ibu Pertiwi

kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang


hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa


Pagi hari di 14 September 2010, aku keluar dari kosan untuk membeli makanan dan pergi ke kampus. Masih libur memang, tidak ada kerjaan di kosan, sayangnya tidak punya tempat persinggahan lain, sohib-sohib masih berada di kampung halaman ataupun berlibur di luar kota, akhirnya kampus pun menjadi jawaban terakhir untuk mengatasi kesendirian.
Sebelum memasuki paragraf selanjutnya, agar tulisanku ini dapat menggapai tujuan penulisannya, kalau rekan-rekan berkenan, aku merekomendasikan untuk kita sama-sama coba mencari lagu 'Ibu Pertiwi', memutarnya dan menghayati setiap lirik, setiap pesan yang disampaikan di lagu tersebut.
Kemudian, aku yakin rekan-rekan sekalian mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, kita dapat mencoba membayangkan kondisi-kondisi yang ada di ibu pertiwi dan juga coba membayangkan kondisi yang akan coba aku ceritakan di paragraf selanjutnya. Sudah mulai mendengar dan membayangkan? Oke, sudah ternyata. Terimakasih kawan, mari kita lanjutkan lagi.

Masih di jalan kecil di dekat kosanku, aku melihat sebuah keluarga tunawisma yang terdiri dari suami istri dan beberapa orang anaknya, kira-kira 6 orang, aku tidak menghitungnya dengan pasti, sedang berjalan ke arah jalan besar. Keenam orang anak ini tubuhnya mungil, mungkin jarak umur di antara mereka hanya dipisahkan waktu 9 bulan sampai satu tahun dan umur yang paling besar kira-kira 10-12 tahun atau jangan-jangan lebih tua dari itu, namun badan mereka yang sangat mungil pada akhirnya hanya dapat membuat aku menerka-nerka.

Tidak ada barang bawaan yang mereka pikul, hanya pakaian yang mereka kenakan. Sang ibu menggendong anaknya yang paling kecil dan juga membawa kain yang diikatkan di punggungnya layaknya para pengelana zaman dahulu dimana di dalam kain ini mungkin berisikan sedikit pakaian ataupun benda-benda paling berharga yang dimiliki keluarga ini.



Namun ada satu hal yang juga sempat menyita perhatianku dan akhirnya terus terbayang di pikiranku hingga saat ini. Sang bapak yang tidak mengenakan sehelai pun alas kaki membawa beban juga di pundaknya, bukan tas ataupun kain juga, melainkan seorang anak yang digendong layaknya para kuli di pelabuhan mengangkat sekarung beras di pundaknya. Tangan dan kaki sang anak terayun-ayun begitu saja dipermainkan langkah kaki sang bapak. Aku hanya menoleh sesaat, kemudian sambil mengendarai kendaraanku, aku melewati keluarga ini dan beberapa puluh meter di depan mereka aku berhenti untuk membeli makananku. Selesai memesan makanan, aku keluar dari warung makanan untuk coba melihat kondisi yang ada di sekitar pada pagi hari dan ketika aku melihat ke arah kendaraanku, ternyata keluarga tuna wisma ini sedang beristirahat tidak jauh dari sana. Beberapa orang anak bermain di sekitar sang ibu, dan sang ayah duduk di trotoar dan anak yang digendongnya tergeletak di jalan dengan mata tertutup. Kaki sang ayah berada di atas betis sang anak.

Kira-kira 10 menit mereka berada di sana dan rasa penasaranku akan kondisi sang anak ini membuatku beberapa kali berusaha untuk melihat ke arah keluarga ini, begitu juga ternyata yang dilakukan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Aku melihat ke arah dadanya, mungkin karena jarak kami yang jauh, aku tidak melihat gerakan naik-turun di dada layaknya seseorang yang sedang menghirup udara. Aku kembali bertanya-tanya, namun ketidakberanian aku untuk mencari tahu lebih lagi, dan mungkin juga sikap ketidakpedulian yang masih ada di dalam diriku membuatku pada akhirnya hanya melihat keluarga ini saja hingga mereka beranjak dan kemudian berjalan lagi meninggalkan kawasan tersebut.

Selesai membayar makanan, aku pun kembali ke kendaraanku dan memulai perjalananku ke kampus. Kembali kondisi tadi bermain-main di alam pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan kembali keluar. Kemana mereka pergi? Bagaimana kondisi sang anak tadi? Apakah dia sakit, atau jangan-jangan dia telah kembali ke pelukan Sang Khalik? Apa yang anak-anak itu makan? Bagaimana cara mereka bertahan hidup?
Banyak pertanyaan yang berkecamuk namun siapa yang bisa menjawabnya, tidak ada saat itu, karena aku telah melewatkan kesempatan itu. Ketika tadi aku memutuskan untuk hanya melihat keluarga ini, sama halnya dengan yang dilakukan juga oleh setiap orang yang ada di tempat itu, aku telah memutuskan juga kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini yang akhirnya hanya semakin menambah pertanyaan-pertanyaan lain di benakku.

Detik pun berlalu dan kembali aku berjalan-jalan di alam pikiranku.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota pendidikan yang memiliki berpuluh-puluh sekolah dan perguruan tinggi. Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota yang sangat banyak didatangi wisatawan dari luar maupun dalam negeri.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, ibukota provinsi yang sangat dekat dengan ibukota negara dan tentunya memiliki akses cepat dalam setiap isu yang ada.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota yang pembangunan gedung-gedung serta tempat rekreasi seperti mall, factory outlet dan lainnya serta pertumbuhan kendaraan bermotornya setiap harinya terus meningkat,
Kondisi itu terjadi di kota ini.

Bagaimana lagi dengan daerah-daerah lain di kabupaten dan perdesaan?
Bagaimana kondisi daerah-daerah di pedalaman yang jauh dari akses listrik, jalan, dan jauh dari kota-kota besar?
Bagaimana kabar saudara-saudara kita yang berada di bagian timur Indonesia yang jauh dari ibukota karena sudah rahasia umum, pembangunan nasional masih terlalu berpusat di bagian barat saja.
Kondisi seperti tadi saja masih terjadi di kota ini, bagaimana lagi di tempat-tempat lain.




 Tanda tanya pun semakin banyak berkumpul di benakku yang mendesak keluar untuk segera bisa dijawab, namun sebuah hembusan angin sejuk datang, mencoba menahan pertanyaan ini untuk bisa tenang dan mau disimpan lagi di lokernya yang paling terdalam.
Sudahlah kawan, untuk apa kau pikirkan itu semua. Itu terlalu berat untuk kau pikirkan sekarang, biarlah para pemimpin kita yang memikirkannya dan kau kerjakan saja bagianmu saat ini. Engkau mahasiswa dan belajarlah yang tekun dan nanti ketika kau sudah sukses, saat itulah kau membuka lagi loker penyimpananmu, dan jawablah setiap pertanyaan yang kau simpan disana.
Sebuah hembusan angin yang sejuk, memberikan solusi kepadaku untuk melupakan setiap pertanyaan yang ada, namun apakah yang sejuk itu baik? Simpan pertanyaan itu, tapi tidak perlu dimasukkan ke loker penyimpananmu, segera kita akan membahasnya.

Aku mencoba berhenti dari perjalanan di pikiranku dan coba kembali ke dunia nyata yang ada, namun sebelum aku sempat berbalik, suatu kenyataan kembali menghampiriku dan akhirnya membuat aku betah untuk berlama-lama lagi di alam pikiranku.

Beberapa waktu ini kita banyak dihebohkan dengan berbagai permasalahan yang terjadi di bangsa ini.
Kasus century, mafia hukum, pajak, komitmen anggota DPR, dan banyak hal lainnya yang terakhir ini ditutup oleh permasalahan kerukunan umat beragama terkait pemukulan di HKBP Bekasi.
Belum lagi kondisi-kondisi yang terjadi di mancanegara seperti depresi perekonomian global, Indonesia vs Malaysia dengan segala pemantiknya seperti kasus perbatasan, TKI, dan lainnya serta yang baru-baru ini terkait rencana pembakaran kitab suci agama Islam di AS.

Pada saat membaca dan mengetahui setiap isu-isu ini aku, kita selalu merespon. Ada yang mengkritik, mengeluh, memaki, memberikan harapan, dan banyak respon-respon lainnya. Namun ketika waktu sudah berlalu, beberapa hari dan minggu sudah lewat dari kejadian yang ada, semua respon itu dilupakan dan respon-respon lain, untuk permasalahan lain dikeluarkan lagi oleh kita, dan begitu seterusnya.
Selalu reaktif ketika ada permasalahan yang mengusik, namun segera melupakan dan tidak mengingat kembali ketika itu sudah berlalu.

Bagaimana dengan hal tadi?
Kondisi tadi terjadi di depan mataku kira-kira beberapa puluh menit yang lalu dan aku tidak melakukan apa-apa.
Lalu, untuk apa selama ini aku memberikan respon untuk setiap kondisi yang terjadi di luar sana, namun hal yang ada di depan mataku, aku tidak mampu melakukan apa-apa.

Beberapa waktu ini kerukunan umat beragama digoncang dengan kejadian di luar negeri, di AS dan juga kejadian di dalam negeri di Bekasi. Banyak respon yang keluar dan aku juga menanggapi kedua permasalahan tersebut.



Aku seorang Batak, seorang Kristen, dan seseorang yang beruntung memiliki orangtua yang bisa menghidupiku dengan baik. Kecintaanku pada suku ku sangat kuat, keimananku pada Tuhanku juga bukan sekedar agama di KTP saja, kedua hal inilah salah satu aspek yang membentuk aku dari kecil, tapi aku juga tidak melupakan satu hal, satu hal yang sangat esensial, aku dilahirkan di Indonesia, bukan di Malaysia, Australia, ataupun Amerika dan karakterku juga dibentuk di Indonesia. Sukuku adalah suku di Indonesia, aku Batak Indonesia, aku Kristen Indonesia.
Merah darahku dan putih tulangku sama seperti saudara-saudaraku yang lain, Aceh Indonesia, Jawa Indonesia, Madura Indonesia, Dayak Indonesia, Asmat Indonesia, Tionghoa Indonesia dan suku-suku lainnya. Kecintaanku kepada tanah airku sama seperti saudara-saudaraku yang lain, Islam Indonesia, Budha Indonesia, dan agama-agama lainnya.

Untuk apa aku berpikir tentang perbedaan, Indonesia berada di belakang nama, suku, ras, dan agamaku.
Persatuanlah yang dulu menjadi jawaban atas kemerdekaan kita.
Bhineka Tunggal Ika.
Darah para pejuang, darah orang Aceh, Melayu, Sunda, Bali, Ambon, Papua, Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya telah mengalir untuk menebus kemerdekaan ini. Darah mereka telah tumpah ke ibu pertiwi.



Apakah kemudian darah setiap mereka yang sudah mati memisahkan diri sesuai kelompoknya?
Tentu saja tidak, darah itu dengan bangganya bersatu, tumpah ke tanah air yang sama, Indonesia.



Darah persatuan mereka lah yang menjadi dasar terciptanya kemerdekaan ini, lalu, untuk apalagi kita mengelompokkan diri, menganggap kita lebih baik dari yang lain.

Mereka dengan bangganya menyatakan kesatuan mereka di Sumpah Pemuda dan menunjukkannya dengan tindakan konkrit melalui tumpahnya darah mereka dalam perjuangan kemerdekaan dan bahkan pada saat mereka sudah terkapar pun, mereka masih terus mempertahankan kesatuan mereka. Darah mereka pun tetap mengalir ke tanah yang sama kawan, tanah tempat kaki aku dan kau melangkah sekarang.



Sama merah darah kita, putih juga tulang kita, berpijak di tanah air yang sama, apalagi yang kita permasalahkan kawan.

Untuk apalagi kita berteriak-teriak akan perbedaan, sementara masih banyak tugas-tugas lain yang belum sempat diselesaikan para pejuang kita dan merupakan beban kita sebagai penerus mereka untuk menyelesaikannya.
Untuk apalagi kita membuat masalah baru, yang sebenarnya merupakan jawaban dari kondisi yang ada sekarang.




Apa masalah kita?
Apa musuh kita?
KORUPSI MUSUH KITA!!
KEMISKINAN MASALAH KITA!!
KETIDAKADILAN LAWAN KITA!!



Itu musuh kita bersama kawan, masalah kita bersama.
Itu musuh orang Islam, Katolik, Konghucu, Jawa, Batak, Padang, Toraja, Ambon, Papua, Tionghoa, Kaya, Miskin,
Hal-hal itulah yang harus kita bereskan bersama...

Persatuan yang dulu merupakan jawaban dalam memperjuangkan kemerdekaan, tentunya sekarang juga menjadi satu-satunya jawaban dalam mengatasi kebobrokan bangsa saat ini.



Kembali ke pertanyaan yang tadi telah kita simpan sejenak untuk nantinya segera kita jawab.
Kondisi yang aku lihat tadi, itu juga terjadi di seluruh Indonesia, bahkan mungkin dialami sanak keluarga kita sendiri. Mereka yang juga merupakan saudara-saudara kita setanah air, apakah masalah yang mereka hadapi itu bukan masalah untuk kita. Apakah bukan tugas kita agar mereka juga bisa merasakan negara kita yang kaya ini?
Apakah kita harus menunggu nanti, menunggu kita tua, menunggu semangat itu meredup, dan akhirnya hanya jiwa pragmatis saja yang tersisa di diri kita, dan mereka akhirnya hanya berada disana, hingga anak cucunya, menunggu jawaban, sementara kita yang tahu jawaban itu memilih untuk melakukannya nanti, nanti yang tidak diketahui kapan akan dilakukan. Nanti yang layaknya janji yang terus diucapkan. Nanti.



Seperti yang telah teman-teman dengar dari lagu 'Ibu Pertiwi', tanah air kita sedang menangis kawan, ibu pertiwi kita sedang susah. Untuk apa lagi kita membuat masalah baru. Saatnya kita menjadi jawaban untuk ini semua. Tanah kita kaya, alam kita menyimpan banyak hal yang siap untuk digunakan. Siapa lagi yang dapat memberdayakannya kalau bukan kita.

Apakah kita mencintai ibu pertiwi?
Apakah kita semua sepakat kalau kita semua merupakan putra-putri bangsa, tidak ada yang merupakan anak tiri, ataupun hanya penumpang gelap di tanah ini?
Apakah kita siap berbakti menggembirakan ibu kita?
Layaknya ibu yang akan tersenyum ketika melihat anaknya tertawa, menggembirakan ibu kita berarti menggembirakan setiap anak-anaknya, tidak hanya sebagian anak-anaknya, tetapi setiap anak-anaknya dari Sabang sampai Merauke. Ketika itu kita lakukan, ibu pertiwi itu pun akan tertawa teman.

Apakah kita siap untuk itu?
Tentunya berat, sangat berat, kalau kita sendiri, tapi akan menjadi pekerjaan yang sangat-sangat ringan dan juga menggembirakan apabila kita melakukannya bersama-sama. Untuk apa kita mengeluarkan energi yang berlebih untuk hal-hal yang tidak perlu, perselisihan yang tidak perlu.
Hei bung, ibumu membutuhkanmu, keluarkan energi itu untuk membangun bangsamu.
Layaknya kearifan lokal para leluhur kita, bergotong royong sambil bercanda tawa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Mari kawan, ayo kita satukan lagi barisan kita.



kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu


ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa 




Apakah kita siap menjaga harta pusaka itu kawan?
Ayolah, tidak perlu lagi berpikir panjang.
Mantapkan hatimu sahabat, persiapkan dirimu saudara,
Aku yakin keputusan kita sudah bulat.
Mari kita melangkah bersama untuk hari esok yang pasti akan lebih baik.
Bersama kawan, bersama dengan segala perbedaan yang ada.
Bhinneka Tunggal Ika...
Untuk nusa dan bangsa.
Mari kita buat ibu pertiwi kita tersenyum lagi.



MERDEKA!!!


Sunday 12 September 2010

Penikmat Wisata --> Pemrakarsa Wisata

Libur Lebaran akhirnya tiba. Kampus pun libur selama dua minggu, mulai dari tanggal 6-17 September. Berhenti sejenak dari kepenatan perkuliahan, walaupun sebenarnya gak ada juga yang dipenatkan karena toh pada hari-hari kuliah juga masih menyempatkan untuk bermalas-malasan. Padahal sudah tahun kelima. Apa diri ini berniat menjadi MA (Mahasiswa Abadi) ya, mmm, tentu saja tidak. Kata orang-orang badan ini bukan robot, sekali-kali beristirahat itu juga perlu. Tapi susah juga kalau keseringan, gak baik juga untuk kesehatan pikiran. Yaudah, cukup dengan intermezzonya, mari kembali ke topik awal lagi.

Memulai awal liburan dengan menjadi juru foto dan tour guide perjalanan beberapa puluh anak UKSU plus friend ke Pangandaran sekitarnya. Berwisata dengan rute Pangandaran-Green Canyon-Batu Hiu-Batu Karas-Citumang. Menikmati indahnya pemandangan alam Pangandaran dan Batu Hiu, lezatnya seafood khas Pangandaran, tantangan alam seperti body rafting dan melompat dari ketinggian di Green Canyon dan Citumang serta serunya bertarung melawan ombak sambil bermain Banana Boat di Batu Karas sungguh menjadi pengalaman yang berkesan di liburan kali ini.

Keramahan dari penduduk sekitar yang juga menghargai alamnya sebagai pusat mata pencaharian mereka juga patut diacungi jempol. Kegigihan warga sekitar dalam menjalani mata pencahariannya, menarik jaring ikan secara bergotong royong dari pinggir pantai, walau hasilnya tidak sesuai yang diinginkan, tawa canda masih keluar dari mulut mereka.
Menjalani Pangandaran-Green Canyon-Batu Hiu-Batu Karas-Citumang selama dua hari meninggalkan pengalaman yang sangat mengasyikkan bagi 25 orang Penikmat Wisata yang memilih menghabiskan waktu untuk berlibur kesana.

Sejenak teringat dengan kondisi pariwisata di kampung sendiri. Bagaimana dengan Penikmat Wisata disana? Apakah mereka juga memilih untuk menghabiskan waktu berlibur mengunjungi tempat wisata disana. Indahnya pemandangan dipadukan dengan kearifan lokal yang dianut oleh penduduk sekitar pastinya juga ada disana. Apakah kelebihan-kelebihan yang ada disana sudah benar-benar dioptimalkan?

Indahnya kawasan Nias dengan budaya suku disana, Danau Toba dengan beragam suku yang ada, Berastagi dengan keindahan alam gunungnya, pantai di pesisir barat Sumatera Utara yang tentunya tidak kalah menarik dengan Pangandaran, Parangtritis, atau pantai lainnya. Belum lagi indahnya Air Terjun Dua Warna yang terdapat di Sibolangit, Pemandian Air Panas di Sidebu-debu, wahana permainan di Mickey Holiday, Hill Park, dan juga Water Boom di Pantai Cermin. Dan tentunya banyak keunggulan lain yang terdapat disana.


Namun kondisi yang ada selama ini, sulitnya infrastruktrur, kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan, dan banyak hal lainnya membuat potensi-potensi itu hanya mengisi opsi-opsi terakhir dalam menentukan pilihan liburan. Apakah benar? Ini hanya asumsi saya saja. Semoga tidak.

Beberapa hari yang lalu bertanya kepada seorang teman yang berdomisili di Samosir dan menanyakan bagaimana kondisi disana saat ini. Apakah pencemaran air danau dengan kotoran dan makanan ikan, banyaknya eceng gondok, dan penebangan pohon masih menjadi santapan sehari-hari disana? Dan untungnya sang kawan menjawabnya dengan sebuah harapan, bahwa itu semua sedang diperbaiki. Masyarakat mulai sadar dan mulai memperhatikan lingkungannya. Semoga ini bisa terus terjadi dan bukan 'panas-panas taik ayam'. Dan semoga perubahan itu tidak hanya diusahakan di kawasan Samosir saja, tapi juga di seluruh Sumatera Utara pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Begitu juga dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, pastinya punya potensi-potensi pariwisata juga. Kebetulan saya berasal dari Sumut sehingga tahunya potensi wisata disana juga.

Bagaimana dengan kita?
Apa yang bisa kita lakukan?
Apakah cukup dengan menjadi Penikmat Wisata?
Atau ada hal lain yang bisa dilakukan?

Tentu banyak yang bisa kita lakukan.
Pertama, tentunya mencintai pariwisata lokal itu sendiri. Saatnya berhenti melihat halaman yang indah di sebelah rumah karena halaman rumah kita juga tidak kalah indahnya, namun belum tertata dengan rapi.
Saatnya mencoba berkunjung di halaman sendiri, sehingga lambat laun juga halaman itu akan tertata dengan rapi tergantung intensitas kita mengunjunginnya.



Kedua, mulailah kita ikut memperkenalkan tempat-tempat wisata ini ke rekan-rekan kita. Kalau bukan kita yang memperkenalkan, siapa lagi. Dari seorang Penikmat Wisata menjadi Pemrakarsa Wisata, memperkenalkan, mengajak teman-teman untuk berwisata ke potensi-potensi wisata yang ada di sekitar kita.
Sangat banyak dan sangat indah. Tapi sayang belum tertata rapi. Dan kehadiran kita akan menjadi nafas dalam menghidupkan pariwisata kita.

Ketiga dan terakhir, ketika sukses meniti karir nantinya, jangan pernah lupa untuk melihat ke bawah, ikut berinvestasi dalam mengembangkan pariwisata ini. Karena peran kita juga sangat diperlukan dalam membangun pariwisata di daerah kita. Dan sedikit investasi dari kita akan semakin memperkuat denyut nadi masyarakat disana untuk hidup dan juga memajukan kondisi masyarakat disana.









Bagaimana teman-teman?
Mari kita berwisata keliling Indonesia!!!
Tuntaskan dulu keliling halaman sendiri baru melihat halaman tetangga kita,,
Selamat berlibur...



^^

_sahatmps

Thursday 2 September 2010

Menjadi Jawaban, Bukan Masalah

Jadilah terang jangan ditempat yang terang
Jadilah terang di tempat yang gelap

   Jadilah jawaban jangan hanya kau diam
   Jadilah jawaban diluar rumahmu

Oooooo… jadilah jawaban
Oooooo… jadilah terang

Jadilah garam jangan ditengah lautan
Jadilah harapan jangan hanya berharap
Jadilah jawaban jangan hanya ucapan
Jadilah jawaban jangan tambahkan beban

    Kedamaian yang kita inginkan
    Hanya ada bila hati kita bersama
(Terang, Glenn Fredly)


Malam ini sedang online bareng seorang teman dan tiba-tiba mendengar lagu ini keluar dari speaker laptopnya. Terang, karya Glenn Fredly. Sebelumnya sering mendengarnya dan entah kenapa kali ini maknanya benar-benar mengena. Mungkin ini karena selama beberapa minggu ini sangat banyak notes, status, dan lainnya di Facebook yang menuliskan tentang berdampak, kepedulian, menjadi terang, dan hal lainnya yang intinya sama, bagaimana kita sebagai mahasiswa harus bisa melakukan perubahan untuk membangun bangsa ini.

Sempat bertanya-tanya juga, kenapa kok tiba-tiba isu ini menjadi suatu hot news di kalangan mahasiswa. Ada yang bisa menjawabnya? Hehe. Mungkin saatnya kita main tebak-tebakan.
Apa mungkin karena bulan Agustus dan semangat kemerdekaan masih ada di dada setiap orang. 
Atau karena isu sedang memanasnya hubungan Indonesia dengan Malaysia di kawasan Selat Malaka. 
Atau mungkin karena begitu bobroknya keadaan sosial dan politik Indonesia saat ini, dimana para pejabat negara, anggota DPR, bahkan pihak-pihak di bidang hukum seperti hakim, pengacara, dan polisi  tidak menunjukkan kapabilitasnya sebagai orang-orang yang mengemban amanat rakyat. 

Mmmm, banyak kemungkinan penyebabnya. Tapi segala hal yang dituliskan itu, perubahan, perbaikan, pembangunan, dan lainnya akan sia-sia kalau hanya menjadi sebuah cerita untuk tidur, dimana enak untuk didengar saat itu, tapi ketika kita sudah terbangun, kita lupa akan cerita tersebut.

Apakah akan seperti itu?
Sepertinya tidak, dan aku harap tidak.
Saatnya perubahan terjadi di Indonesia.
Saatnya Indonesia kembali bangun dari tidurnya yang panjang, dan raksasa itu bisa bangkit dari keterpurukannya.
Saatnya tawa itu keluar dari mulut seorang anak, bukan hanya dari kota-kota besar, tapi juga dari setiap desa, di penjuru daerah di Sabang sampai Merauke.
Saatnya senyum itu keluar dari wajah seorang tua, bukan hanya di gedung-gedung tinggi, tapi juga di rumah-rumah di pinggiran kota, dimana setiap orang bisa merasakan bangsa yang kaya ini bisa berkembang dan bangkit dari ketertinggalan.

Suatu hal yang muluk kah?
Kalau sekarang pasti iya, karena hal itu memang tidak mungkin terjadi saat ini.
Itu terjadi nanti.
Tapi sesuatu yang nanti akan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi saat ini.

Ketika para mahasiswa, terkhusus yang sudah sadar akan arti pentingnya kehadirannya memilih untuk sekedar menuangkannya saja di sebuah status ataupun note tanpa berusaha melakukan perubahan berarti sejak saat ini, maka nanti itu mungkin hanya akan menjadi sebuah impian yang sangat indah untuk dibayangkan.
Tapi, ketika setiap kita berani untuk melakukan perubahan, sekecil apapun itu, dan juga membagikan apa yang sudah kita sadari itu ke orang lain, sehingga barisan kita akan semakin kuat, mulai saat ini, yakinlah, nanti itu bukan hanya sekedar mimpi, perubahan itu pasti akan terjadi.
Dan itu PASTI akan terjadi nanti.


Jika rumah menjadi gelap karena malam tiba, tidak ada gunanya menyalahkan rumah itu, sebab itulah yang terjadi kalau matahari tenggelam. Pertanyaan yang perlu kita ajukan ialah:
'Dimana lampu-lampunya?'

Jika daging menjadi busuk dan tak termakan lagi, maka tidak ada gunanya menyalahkan daging itu, karena itulah yang terjadi bila kuman-kuman dibiarkan membiak di dalamnya. Pertanyaan yang harus dikemukakan ialah: 'Dimana garam-garamnya?'
(Isu-Isu Global, John Stott, hal. 88)


Tidak ada gunanya lagi menyalahkan para pejabat, anggota DPR, polisi, dan setiap orang yang mungkin membuat Indonesia seperti ini karena mereka mungkin tidak tahu apa itu makna dari integritas, pengabdian, dan lainnya. Atau mungkin mereka tahu tapi tidak tahu seperti apa implementasinya. Haha. Capek juga memikirkan hal itu.

Dan tidak ada juga gunanya kita berdoa agar Indonesia berubah dan menyerahkan perubahan itu kepada mereka-mereka ini. Sia-sia semua doa dan harapan itu kalau bukan kita yang melakukannya teman, kita yang mungkin tahu tentang itu dan memang harus kita.

Dan segala hal yang mendukung kesana, integritas, kepedulian, dan lainnya tentunya harus dipupuk dari sekarang agar bisa tertanam kuat di diri kita masing-masing sehingga itu akan menjadi buah yang enak untuk dirasakan nantinya. Agar segala hal itu bisa terus ada, dan bukannya hilang seiring waktu ketika kita sudah menjadi alumni.
Karena banyak alumni-alumni, yang dulunya ketika masih menjadi seorang mahasiswa, dia memegang idealisme, namun ketika sudah terjun ke apa yang dulu ditentangnya, dia hanya bisa menyimpan segala idealismenya, dan justru terikut dengan arus yang ada.

Bagaimana kita 10 atau 20 tahun lagi bisa peduli, berintegritas dan mengubah Indonesia di bidang kita masing-masing kalau hal itu tidak dilatih sejak muda.
Bagaimana kita bisa melatih itu sejak muda, kalau pada saat muda saja kita tidak peduli hal itu dan hanya berfokus kepada diri sendiri.
Siapa, apa, bagaimana kita pada saat sekarang ini menentukan seperti siapa, apa, bagaimana kita 10,20 tahun mendatang.

Saatnya kita mulai dari sekarang, dan saatnya juga untuk mendiskusikannya dengan teman-teman kita yang lain.
Karena tentunya perjuangan itu tidak bisa dilakukan sendiri. Semakin kuat barisan kita, akan semakin mantap hasilnya.
Saatnya kita, di lingkungan kita masing-masing memperkuat barisan kita.
Untuk Indonesia yang lebih baik, nanti, dan proses itu kita mulai dari detik ini.

Sepertinya mulai berapi-api ya. Mungkin karena malam yang semakin dingin dan butuh penghangat sama seperti kondisi bangsa ini juga masih sulit untuk bangkit dan butuh generasi pejuang, yang berani menjadi jawaban, bukan masalah.

Dan tentunya, berputarnya lagu Terang, karya Glenn Fredly tadi, ataupun semua notes dan status tadi yang sedang banyak berkeliaran di dunia maya bukanlah sebuah kebetulan belaka.
Itu pasti merupakan sebuah awal untuk PERUBAHAN INDONESIA MENJADI BANGSA YANG LEBIH BAIK.

kapal itu aman di pelabuhan,
tapi bukan untuk itu tujuan kapal diciptakan.
(William Shedd)

begitu juga dengan kita,
ada untuk MENJADI JAWABAN, BUKAN HANYA DIAM ATAUPUN MENJADI MASALAH.

Saatnya memulai teman,
Saat kita telah tiba.
Mari kita tuliskan lembar sejarah kita.

MERDEKA!!
haha.

-shtmps-