inspirasi

inspirasi

Friday 25 February 2011

Sedikit Waktu, Banyak Kerjaan

sudah tinggal sedikit waktu, padahal masih banyak hal yang belum dilakukan,

sangat sedikit sumber daya, padahal banyak hal yang bisa dikerjakan,

Thursday 24 February 2011

Masihkah Tempat Itu Menjadi Tempat Sepasang Kaki Terhenti (Sebuah Perbincangan Santai Sebelum Tidur)

Durasi baca: 3-5 menit

Tulisan ini ditujukan untukmu. Ya, untukmu. Ini cerita tentangmu dan Si Dia. Si Dia yang selalu menunggumu. Si Dia yang sudah rindu akan setiap lantunan musik yang dulu pernah kau nyanyikan di samping telinganya. Si Dia yang sudah lama tidak menyaksikan gerak gemulai tarian yang kau tampilkan di depan matanya. Si Dia yang hanya bisa menunggu kehadiranmu di siang hari, mendengar segala hal cerita yang kau bincangkan dengan temanmu, namun tak satu pun yang menyinggung dirinya. Si Dia yang selalu menanti saat-saat dimana kau bersama yang lain berkumpul di depannya, berdiskusi tentang segala cita yang mungkin dicapai, dan bersatu untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan. Ya, tulisan ini ditujukan untukmu, dan juga untuk Si Dia.


Tempat sepasang kaki terhenti
Di rumah budaya bangsaku
Kuikrarkan dalam jiwaku
Budayaku cermin bangsaku
Kuderapkan langkah bersatu
Menuju cita mulia


Teks diatas adalah sepenggal lirik hymne dari sebuah unit di suatu kampus ternama. Unit yang sudah berdiri sejak tahun 1978 dan tahun ini sudah berumur 32 tahun dan apabila dianalogikan dengan manusia, masa ini seharusnya merupakan masa dewasa dari kehidupan seseorang, kala dimana seseorang yang sudah belajar sejak muda mendedikasikan dan membaktikan dirinya bagi keluarga, teman, dan bangsanya. Masa dimana seseorang sudah bisa berbuat dan tidak hanya melihat saja. Masa ketika seseorang tidak lagi hanya memikirkan kemajuan dirinya, tapi juga memikirkan kemajuan lingkungan di sekitarnya. Ya, kira-kira seperti itu.

Bagaimana dengan unit ini sendiri?

Ketika menyanyikan hymne diatas, timbul berbagai pertanyaan di benakku,
Masihkah unit itu menjadi rumah budaya bangsa?
Apakah kader-kadernya masih mengikrarkan di dalam jiwanya, budaya merupakan cermin bangsanya?
Apakah langkah itu masih berderap bersatu menuju cita mulia di ujung jalan?
Dan masihkah tempat itu menjadi tempat sepasang kaki terhenti??

Beberapa pertanyaan yang seharusnya kita pertanyakan ketika kita menyanyikan hymne itu, agar hymne itu tidaklah menjadi nyanyian kosong tanpa arti, ataupun menjadi lirik yang sarat makna tanpa aksi. Demikianlah hymne itu dibuat untuk tidak hanya menjadi lagu yang harus dihapalkan ketika kita dulu berdiri dengan tekad dan semangat menggebu-gebu, menggedor-gedor pintu gerbang rumah itu, namun ketika gerbang sudah dibukakan, dan kita sudah masuk ke halaman rumahnya, hymne itu terus menjadi lagu yang dihapalkan, dan terus dihapalkan, tapi tanpa aksi. Kebanggaan pun akan timbul, tapi hanya kebanggaan yang semu, tanpa tindakan yang jelas.

Apakah benar seperti itu? Ini hanyalah asumsi, semoga tidak itu yang terjadi. Apabila tidak, mari kita berharap hal itu tidak akan pernah terjadi di rumah ini. Semoga setiap kader yang telah dan akan berdiri di depan pintu gerbang itu tidak hanya menghapalkan hymne itu, namun juga merasakan makna dari setiap kata yang diucapkan, dan melakukan tindakan dari rasa yang sudah mengalir di dalam dada.

Tapi kalau ternyata asumsiku ini benar, walau tidak semua kader, mungkin hanya segelintir, apa yang harus kita lakukan? Apakah hanya membiarkan hal itu terus terjadi? Dan Si Dia, rumah itu, hanya bisa terus menunggu, dan terus menunggu, tanpa bisa melakukan apa-apa. Karena memang begitulah kondisinya, rumah itu akan menjadi rumah seperti yang dinyanyikan di hymne itu, ketika para penghuninya melakukan sesuatu, namun hanya akan menjadi rumah kosong tanpa makna, ketika kita, para penghuninya memakainya untuk menjadi tempat persinggahan semata, bukan menjadi tempat sepasang kaki terhenti.

Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kita lakukan? Sebelum kita melakukan sesuatu, mungkin ada satu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Apakah cita mulia itu? Apakah cita mulia yang menurut hymne ini harus dituju bersama dengan langkah bersatu?

Menurutku, dan juga beberapa kawan-kawanku, dan aku harap kau dan aku bisa berdiskusi bersama mengenai hal ini, karena mungkin aku dan kawan-kawanku masih keliru dalam memaknai cita mulia ini, tapi menurut kami cita mulia itu bukanlah bercerita tentang cita yang bisa dicapai saat ini. Cita itu bercerita tentang sesuatu yang akan terjadi nanti, tapi harus kita usahakan sejak saat ini dengan langkah yang berlelah namun tidak pernah berhenti untuk mencapainya. Bahkan ketika tiba saat dimana kita harus keluar dari rumah itu untuk melihat luasnya lingkungan di sekitar, cita itu mungkin masih belum juga tercapai dan kita pun masih harus terus melangkah untuk mencapainya. Namun karena sejak dibina di rumah itu kita terus memupuk rasa cinta untuk mencapai cita itu, maka ketika tiba saat ketika kita harus keluar dan berada di lingkungan yang lebih besar, keinginan untuk melangkah mencapai cita mulia itu seharusnya akan terus tertanam, di hatiku, hati kawan-kawanku, dan hatimu juga. Seharusnya seperti itu. Karena menurut kami, sebenarnya itulah peran dari rumah ini. Menyiapkan kader-kadernya selama masih di dalam rumah, agar memiliki kecintaan dalam mencapai cita mulia itu, sehingga ketika tiba saat untuk keluar rumah, kecintaan itu akan terus tertanam, dan hal besar bisa dilakukan untuk mencapai cita itu.

Cita seperti apakah itu? Apakah pelestarian budaya? Atau seperti apa? Jawabnya ya dan tidak. Ya untuk pelestarian budaya, tapi tidak apabila hanya pelestarian budaya. Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa teknik untuk bisa melestarikan budaya? Apakah nantinya kita akan menjadi para seniman, pemusik, atau penari untuk melestarikan budaya ini? Tidak salah memang, tapi berdasarkan peran yang seharusnya kita lakukan, bukan sebatas itu yang bisa kita lakukan. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Seperti yang  dianalogikan di awal tentang seseorang yang berumur 32 tahun, seharusnya yang kita lakukan sekarang tidaklah sebatas kita saja yang melestarikan budaya itu, tapi bagaimana agar orang lain juga melestarikan dan menghargai budaya itu. Bahkan juga bagaimana membuat budaya itu bisa dihargai di tempat asalnya, dan juga memancing orang-orang dari luar untuk ikut tertarik dan menikmati budaya itu. Akhirnya pelestarian budaya itu bisa berbuat banyak, tidak hanya membuat budaya itu tetap ada dan dilestarikan, tapi pelestarian budaya itu sendiri juga memberikan dampak yang baik bagi orang-orang yang melestarikannya, yaitu dengan peningkatan taraf hidup dan perekonomian mereka karena banyaknya orang-orang dari luar yang ingin menikmati budaya itu dengan datang ke tempat asal budaya itu. Berat dan luas cita itu, tapi memang begitulah, menurut kami. Itulah porsi yang seharusnya bisa kita kerjakan, agar kita tidak berhenti sebagai orang yang melestarikan saja, tapi juga membuat orang lain ikut menghargai dan melestarikan budaya itu.

Hal itulah yang menghasilkan kesimpulan bahwa cita itu mungkin baru akan terwujud nanti, tapi usaha-usaha yang kita lakukan sekarang bisa semakin mempercepat dan mempermudah terwujudnya cita itu nanti.

Usaha-usaha apa saja yang bisa kita lakukan??
Aku harap kita bisa berdiskusi disini.

Akhir kata, ada sebuah cerita, kisah fiksi tentunya, mohon maaf kalau ada kesamaan nama ataupun tempat.

Di sebuah kampus terdapat empat orang mahasiswa yang masih tingkat pertama. Mereka berasal dari daerah yang sama, namun tidak saling mengenal karena berbeda sekolah. Andi seorang mahasiswa dari suatu kabupaten yang jauh dari ibukota provinsi. Perekonomian keluarga dan penduduk di desanya pas-pasan dan dia memiliki keinginan untuk bisa memajukan daerahnya.

Johan adalah seorang mahasiswa yang memiliki jiwa idealis sejati. Sejak SMA dia sudah banyak membaca berbagai artikel di koran dan sering kali merasa kecewa dengan keadaan daerahnya. Dia pun berjanji untuk terus menanamkan idealisme itu selama kuliah agar ketika dia sudah kerja nanti, dia bisa melakukan perubahan yang berarti di lingkungan pekerjaannya.

Mahasiswa yang ketiga, tepatnya mahasiswi, bernama Tika. Dia hidup di dalam keluarga yang harmonis. Sejak kecil di dalam keluarganya sudah ditanamkan ketaatan dalam beragama dan akhirnya sekarang dia sudah memiliki jawaban panggilan hidupnya di dunia. Dia yakin bahwa dia memiliki tanggung jawab juga untuk bisa melakukan perubahan, sekecil apapun itu, untuk bisa membuat bangsa dan negaranya menjadi lebih baik lagi. Dan dia bertekad untuk terus memperkuat keimanannya dan juga kepeduliannya kepada sesama sehingga ketika sudah bekerja, dia bisa melakukan sesuatu yang berarti.

Dan mahasiswa yang terakhir bernama Roni. Dia adalah mahasiswa yang sangat pintar dan memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata. Memiliki orangtua yang keduanya merupakan ilmuwan dan bekerja di LIPI membuatnya memiliki semangat untuk meneruskan jejak kedua orangtuanya. Dia bertekad menghasilkan sesuatu yang hebat untuk negaranya dan untuk mencapai itu, selama kuliah dia banyak membaca buku-buku di perpustakaan kampusnya.

Dari keempat mahasiswa ini, sepertinya kita bisa menyimpulkan satu kesamaan dari mereka, yaitu mereka memiliki cita yang sama, yaitu melakukan sesuatu untuk daerahnya, untuk bangsanya. Tapi sayang, keempat mahasiswa ini tidak pernah berjumpa selama di kampus, dan kesempatan menyatukan serta mendiskusikan pemikiran dan cita itu tidak pernah terjadi. Mereka juga tidak pernah berkeinginan mengajak kawan-kawannya yang lain untuk memiliki cita yang sama dan hanya menanamkan cita itu di benak mereka sendiri.

Akhirnya mereka bekerja di empat bidang yang berbeda, dan memang berusaha melakukan sesuatu di lingkungan kerja mereka, tapi karena setiap lingkungan kerja memiliki hubungan satu sama lain, dan perubahan tidak bisa dilakukan di satu lingkungan saja tapi secara menyeluruh. Dan karena tidak adanya kawan yang memiliki cita yang sama di lingkungan kerja lain, atau mungkin sebenarnya ada, tapi mereka tidak pernah saling mengetahui karena tidak pernah berjumpa sebelumnya, akhirnya mereka tidak mampu berjuang sendiri dan cita itu tidak pernah tercapai.


Bagaimana pendapatmu kawan?
Apakah kita akan seperti mereka? Tidak melakukan apa-apa untuk mencapai cita itu dan hanya menanamkan cita itu di benak kita sendiri. Kalau itu yang kita lakukan, mungkin seperti cerita di atas, akhirnya kita akan berjuang sendiri dan cita mulia itu tidak akan pernah bisa kita capai sekuat apapun kita melangkah mengejarnya.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?
Mari kita diskusikan disini kawan, karena kau lah sekarang, bersama kawan-kawan yang lain yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan di rumah itu, sebab sedikit waktu lagi sebelum tiba waktu kami untuk keluar dari rumah itu, dan melakukan tugas dan tanggung jawab kami untuk melangkah mencapai cita mulia kita.


Masihkah tempat itu menjadi tempat sepasang kaki terhenti? Tempat untuk berhenti dan belajar banyak hal, memupuk rasa cinta dan keinginan untuk melakukan sesuatu, sebelum tiba saat untuk melangkahkan sepasang kaki, keluar dari rumah, menuju lautan perjuangan mencapai cita, yang mungkin tidak akan berhenti hingga akhir hayat. Aku yakin masih. Apabila kau mau, mari kita diskusikan itu disini. Agar teriakan yel-yel itu tidaklah menjadi teriakan semu tanpa tindakan. Ataupun menjadi sebuah arogansi tanpa aksi. Semoga tidak demikian.

Selamat malam kawan.


Rumah di Pulau Di Tengah Pulau

Bersama budaya lokal
Museum

Hidupilah Hidup

durasi baca: 1-2 menit




 


hidupilah hidup,
dan jangan pernah membiarkan mimpi dan cita yang sudah ada di benak kita itu hanya menjadi mimpi belaka tanpa pernah diusahakan terjadi,
berbangga dan  berbahagialah kita telah diberi kesempatan oleh Yang Diatas untuk mendapatkan mimpi dan cita itu dari sekarang, sejak kita muda,
tapi ingat satu hal,
setiap orang juga diberikan mimpi dan cita, sesuai tujuan kita masing-masing ada di dunia ini,
namun hanya sedikit yg berani keluar dari zona nyaman,
dan melakukan sesuatu yang berarti untuk menggapai mimpi dan cita itu,




yang manakah diri kita?
mari membuat sejarah kita sendiri,
dari sekarang,
mulai dari hal yang kecil,
karena bagaimanapun,
apa yang kita mulai dari sekarang,
pasti tetap berarti untuk merintis jalan,
melangkah lebih dekat menuju mimpi dan cita itu,
dan mimpi serta cita itu aku yakin,
bukan sebatas apa yang terjadi tentang kita,
tapi apa yang dapat kita lakukan, untuk mereka,
karena itu pasti tujuan masing-masing kita ditetapkan ada,
bukan lagi tentang aku, atau kita,
tapi tentang apa yang bisa kita lakukan, untuk mereka, untuk sekitar kita,

mari mulai dari sekarang,
sampai tiba akhir dari kita.



selamat beraktivitas,
dan melangkah lebih dekat,
selangkah, dua langkah, tiga langkah,
menuju mimpi dan cita di ujung jalan.
Yang Diatas akan selalu menyertai langkah kita,
^^