inspirasi

inspirasi

Friday 16 October 2015

Keindahan Adalah Kumpulan Perbedaan

"Keindahan itu baru indah karena ada perbedaan"
"Keindahan baru ada karena perbedaan"
Kamu mungkin akan bingung dengan dua pernyataan saya di atas. Apa hubungan keindahan dengan perbedaan? Kenapa keindahan baru ada, terwujud, nyata, ketika ada perbedaan? Supaya kamu tidak tambah bingung, saya akan contohkan beberapa "keindahan" yang sebenarnya baru disebut indah ketika di dalam "keindahan" itu ada perbedaan.

Contoh pertama: Keindahan di puncak gunung.
Bagi yang pernah naik gunung dan menikmati keindahan di puncak gunung pasti akan menyadari, keindahan yang kita rasakan itu dampak dari kumpulan berbagai perbedaan. Ada kumpulan awan, dataran luas, pepohonan, milyaran bintang, hembusan angin, dan fenomena-fenomena lainnya yang memberikan makna "indah" bagi kita. Coba bayangkan kalau pas di puncak gunung, yang ada di sekitar kita hanya puncak gunung dan hamparan kosong tanpa wujud apapun. Mungkin kita akan menyesal berusaha mendaki ke puncak gunung itu. Maka bisa disimpulkan, keindahan di puncak gunung yang kita lihat dan rasakan merupakan kumpulan dari berbagai perbedaan.

Contoh kedua: Indahnya kebersamaan dalam keluarga.
Tentu keluarga juga memiliki keindahan yang khas. Kita pasti sangat menikmati indahnya kehidupan dalam keluarga. Keindahan itu terwujud karena ada ayah, ibu dan anak-anak yang memiliki karakter yang berbeda namun tetap saling menyayangi. Tapi coba bayangkan jika setiap individu di dalam keluarga memiliki karakter yang sama persis seperti pinang di belah dua. Yang terjadi hanya hubungan yang hambar, monoton, dan datar. Bahkan sepasang anak kembar pun memiliki perbedaan. Maka jelaslah, indahnya kebersamaan dalam keluarga juga baru nyata ketika setiap individu di dalam keluarga memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing.

Dari dua contoh di atas saja, seharusnya kita bisa sepakat kalau segala macam keindahan baik itu antara manusia dengan manusia, alam dengan manusia, manusia dengan masyarakat, dan lain sebagainya, baru bisa dimaknai "indah" ketika di dalam setiap hubungan tersebut terdapat perbedaan yang khas dari masing-masing personal. Perbedaan dapat juga kita asosiasikan dengan keberagaman. 

Maka saya sampai ke sebuah kesimpulan bahwa:
"Keindahan Adalah Sekumpulan Perbedaan / Keberagaman"
Bagaimana jika kita ternyata tidak sadar bahwa keindahan itu adalah sekumpulan perbedaan / keberagaman? Bagaimana pula jika yang ada justru penyeragaman? Bagaimana jika tidak ada lagi perbedaan? 

Kondisi yang ada sekarang ini di sekitar kita memang menunjukkan kesan di atas. Di dalam hubungan antar manusia dan masyarakat, terlihat adanya upaya merusak semangat keberagaman. Beberapa pihak berusaha menyeragamkan perbedaan di daerahnya. Perbedaan ragam: suku, agama, ras, dan golongan diredam, diganti dengan kesamaan ragam yang mematikan kekhasan manusia. 

Dalam hubungan manusia dengan alam, upaya penyeragaman pun terjadi. Dan untuk hal ini, kembali manusia menjadi aktor perusaknya. Alam dan segala isinya dibabat, dirusak, dan diganti dengan keseragaman yang tidak memperhatikan faktor keindahan. Perkebunan sawit yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan, penangkapan ikan dengan pukat harimau, dan lain sebagainya.

Jika kita biarkan, maka:
"Keberagaman Sirna, Keindahan Tiada"
Maukah kita kehilangan makna keindahan? Hanya merasakan hal yang hambar, datar, monoton, dan tawar. Tidak ada tawa, emosi, keunikan, dan lainnya?

Mari kita jaga, rawat, lestarikan, dan kembangkan perbedaan. Tentu perbedaan yang membangun dan memberikan manfaat positif bagi setiap individunya.  Kita menjadi duta-duta pembawa damai, menunjukkan bahwa keindahan itu ada karena perbedaan, oleh karena itu perbedaan harus kita rawat sebaik-baiknya demi kebaikan bersama. Ya, kita harus memaknai, bahwasanya:
"Perbedaan Itu Indah"

Thursday 15 October 2015

Toleransi, Jangan Reaktif

Seorang terpelajar harus sudah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan -Pram-

Sejak kemarin berusaha menahan diri untuk berkomentar tentang peristiwa yang saat ini sedang terjadi di Singkil, Aceh. Masih belum hilang ingatan peristiwa beberapa bulan lalu, saat Tolikara juga mengalami nasib yang kurang lebih serupa.

Teringat, waktu itu dalam beberapa jam saja setelah peristiwa, beberapa teman kampus dan rekan aktivis yang beragama Muslim dengan sigap langsung membuat status, mempertanyakan tentang toleransi, Pancasila, dan lainnya sembari memaki para pelaku pembakaran di Tolikara. Dengan sigap pula waktu itu aku menunjukkan solidaritas, begitu juga rekan-rekan non Muslim lainnya, menunjukkan sikap bahwa apa yang terjadi di Tolikara kali itu bukanlah cerminan ke-Indonesiaan kita, dan masih lebih banyak masyarakat yang peduli kedamaian dan kebersamaan dalam perbedaan.

Belajar dari kejadian itu, untuk kali ini aku berusaha tidak reaktif dan menahan diri, sembari percaya, sahabat-sahabatku dari kampus dan rekan aktivis yang waktu itu mempertanyakan tentang Pancasila, toleransi, dan lainnya akan kembali bersuara dan menunjukkan solidaritasnya. Bersyukur ada banyak sahabat yang menunjukkan sikapnya, bahwa apa yang terjadi di Singkil itu juga bukan cerminan ke-Indonesiaan kita. Sikap dari teman-teman ini memberikan kelegaan dan semangat, menunjukkan kita ternyata tidak sendiri memperjuangkan kesatuan.

Sayang, tidak semua bersikap adil, baik itu yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dll. Pancasila dan toleransi hanya dikoarkan saat dirinya sedang "terusik" saja, selain itu, ternyata hanya menjadi jargon semata.

Ya, apapun itu, kiranya kita tetap mengingat, keindahan itu baru nyata ketika ada keberagaman/perbedaan. Pelangi indah karena berbeda warna. Pemandangan alam indah karena ada sungai, gunung, pohon, dan keberagaman lainnya. Begitu juga terumbu karang menjadi indah karena aneka warna terumbu karang dan berbagai jenis makhluk laut disana.

Keindahan itu indah karena keberagaman, begitu halnya juga dengan manusia, baru indah ketika di antara manusia ada keberagaman, bukan keseragaman.

Salam damai Indonesia. :)