inspirasi

inspirasi

Wednesday 26 December 2012

Damai Natal, Damai Indonesia




Tahun ini kembali memperingati hari kelahiran Yesus Kristus, Isa Al-masih. Berbeda dengan Natal beberapa tahun terakhir dimana dapat merayakan Natal bersama keluarga di Medan, kali ini harus merayakannya bersama teman-teman di Bandung. Suasana Natal di tengah keluarga yang dikasihi pun batal dirasakan, namun Natal tahun ini tetap memberikan banyak makna dan pembelajaran baru, dan kali ini menyinggung tentang ‘damai’.

Seringkali kita terlibat pertikaian dengan orang lain. Sakit hati, dendam, kekecewaan, amarah, dan banyak hal lainnya menjadi biang keladi dari permusuhan, dan kedamaian seakan jauh dari kehidupan kita. Kita bertikai dengan teman, guru, tetangga, bahkan keluarga atau orangtua kita sendiri. Alasan pembenar kita pun klasik, kita hanyalah manusia biasa yang pasti juga bisa sakit hati dan marah. Wajar kalau sesekali terlarut dengan emosi diri.

Yesus, Sang Bayi Pendamai lahir ke dunia untuk memberikan kasih dan membawa kedamaian bagi setiap orang. Dia datang bukan hanya untuk mengajarkan apa kasih itu, tapi juga menunjukkan melalui kehidupannya. Dia hidup di dunia bukan hanya untuk meminta manusia mewujudkan kedamaian, tapi juga melakukannya, meruntuhkan setiap tembok yang berusaha membelenggu tegaknya kedamaian di tengah kehidupan manusia.

Dia mendamaikan perselisihan antara orang Yahudi dan orang Samaria dengan meminum air dari timba perempuan Samaria. Yesus mendamaikan para penderita kusta dengan masyarakat Yahudi yang terikat hukum adat dimana para penderita kusta harus disisihkan dan dikeluarkan dari kota. Yesus juga memberi kedamaian kepada orang-orang yang dianggap sebelah mata; para pemungut cukai, pelacur, janda, anak-anak, orang buta, lumpuh, dan lainnya. Yesus menunjukkan bahwa kasih dan kedamaian harus dirasakan oleh setiap orang. Dan diakhir hidupnya, sebagai puncak dari perjalanan hidupnya, Yesus menjembatani hadirnya kedamaian antara manusia dengan Penciptanya. Yesus mendamaikan manusia dan Allah, dengan mati di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga. Maka nyatalah bahwa kehidupan Yesus adalah kehidupan yang menghadirkan kasih dan damai antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan paling utama, manusia dengan Allah.

Kembali kepada Natal tahun ini, kiranya kehidupan Yesus dapat menjadi pelajaran hidup yang akan kita lakukan dalam kehidupan kita. Mungkin selama ini mudah bagi kita untuk sakit hati, dendam, kecewa, dan marah kepada orang lain, tapi sejak kita mengenal dan memahami kehidupan Yesus maka semua itu tidak akan mudah lagi masuk dalam kehidupan kita. Sehingga genaplah keinginan Yesus Sang Pembawa Damai, bahwa setiap orang yang belajar dari kehidupanNya akan menjadi agen-agen pembawa kedamaian di setiap lingkungan di sekitar kita. Pembawa kedamaian yang bukan berarti diam (baca: ‘damai’) ketika ada masalah di sekitarnya. Namun berani bicara benar walaupun orang lain tidak suka dengan apa yang akan kita katakan, ataupun berani bertindak benar walau tidak sesuai dengan keinginan lingkungan kita. Karena Yesus berdamai bukan dengan diam melihat permasalahan, tapi berpikir, berbicara, dan bertindak melawan tirani; melawan orang Farisi, hukum adat, kematian, dan hal-hal lainnya.


Damai Natal, Damai Indonesia.
Kiranya kasih dan kedamaian yang kita rasakan selama masa-masa Natal ini tidak akan berlalu begitu saja ketika hari-hari sudah jauh meninggalkan tanggal 25 Desember. Semoga kasih dan kedamaian yang sudah diajarkan oleh Yesus 2000 tahun lalu, dapat juga hadir dalam kehidupan kita sehingga 364 hari ke depan, kasih dan kedamaian selalu terpancar dari kehidupan kita. Damai dan kasiih yang kita bagikan kiranya dapat menjadi damai bagi keluarga, teman, bangsa, dan negara kita. Tuhan menyertai kita semua.
Damai Natal, Damai Indonesia. Selamat Natal bagi kita semua.

Refleksi Dies Natalis 1 abad Student Christian Movement of Srilanka (Gerakan Mahasiswa Kristen Srilanka)


So what does peace mean in this savage, corporatized, militarized world? What does it mean in a world where a entrenched system of appropriation has created a situation in which poor countries, which have been plundered by colonizing regimes for centuries, are steeped in debt to the very same countries that plundered them and have repay that debt at the rate of 382 billion dollars a year?

What does peace mean in a world in which the combined wealth of the world’s 587 billionaires exceeds the combined ross domestic product of the world’s poorest countries? Or when rich countries –that pay farm subsidies of a billion dollars a day- try and force poor countries to drop their subsidies?

What does peace mean to people in occupied Iraq, Palestine, Kashmir, Tibet, and Chechnya? Or to the Aboriginal people of Australia? Or the origin of Nigeria. Or the Kurds in Turkey? Or the Dalitis and Adivasais of India? What does peace mean to women in Iran, Saudi Arabia and Afghanistan?

What does it mean to the millions who are beiing unprooted from their lands by dams and development projects? What does peace mean to the poor who are being actively robbed of their resources and for whom everyday life is a grim battle for water, shelter, survival, and, above all, some semblance of dignity?
FOR THEM PEACE IS WAR.

We know very well who benefits from war in the age of Empire is the Corporate-Military cabel. But we must also ask ourselves honestly who benefits from peace in the age of Empire? War mongering is criminal, but talking of peace without talking of justice could easily become advocacy for a kind of capitalism. And talking of justice without unmasking the institutions and the systems that perpetrate injustice, is beyond hypocritical.

It’s easy to blame the poor for being poor. It’s easy to believe that the world is being caught up in an escalating spiral of terrorism and war. That’s what allows the American President to say: “You’re either with us or with the terrorists.” But know that terrorism is only the privatization of war. That terrorists are the free marketers of war. They believe that the legitmateuse of violence is not the sole prerogative of the state.

It’s mendacious to make moral distinctions between the unspeakable brutality of terrorism and the indiscriminate carnage of war and occupation. Both kinds of violence are unacceptable. We cannot support one and condemn the other.

The real tragedy is that most people in the world are trapped between the horror of a punitive peace and the terror of war. Those are the two sheer cliffs w’re hemmed in by. The question is: How do we climb out of this crevasse?

bersama teman2 Student Christian Movement se-Asia Pasifik

Thursday 19 July 2012

Enam Tahun, Selanjutnya Apa?


Enam tahun, masa pembentukan di Kawah Candradimuka, Laboratorium Kehidupan, Kampus Ganesha, Institut Teknologi Bandung.
Enam tahun, proses belajar dalam indahnya suka dan duka, senang dan sedih, serta ringan dan berat.
Enam tahun, waktu yang tidak cepat, juga tidak lama.
Enam tahun, selanjutnya apa?

 
Naik kereta dari Medan ke Rantauprapat dan melihat alam di sepanjang jalur rel kereta. Menyaksikan jutaan pepohonan yang terhampar luas, diselingi rumah-rumah kecil terkadang gubuk. Ada yang dilapisi dinding bersemen, terkadang hanya batu bata telanjang, dan tidak jarang hanya diselumuti papan juga triplek.
Enam tahun merasakan fasilitas kuliah, selanjutnya apa?


Menyeberangi jembatan di jalanan Medan, terbentang lebarnya sungai Babura dan Deli. Terpampang bantaran sungai yang penuh warna. Ibu-ibu yang mencuci bajunya sampai bersih dengan air sungai yang kotor. Anak-anak kecil yang bersukaria mandi di pinggiran sungai. Rumah-rumah kumuh dengan baju-baju yang dijemur di depan rumah, tidak dapat dibedakan mana yang sudah dicuci dengan yang belum dicuci. Para pemuda dan kaum ayah yang pergi pagi dan pulang malam, menarik becak ataupun menjadi kuli bangunan, demi sesuap nasi esok hari.
Enam tahun menikmati indahnya pendidikan di kota Bandung, selanjutnya apa?

Bagaimana lagi kabar masyarakat di pedalaman Sumatera Selatan, ataupun kondisi rakyat di perbatasan Indonesia-Malaysia?


Siapakah yang tahu suka-duka anak pertiwi di pulau-pulau kecil Indonesia ataupun cerita senang-sedih putra-putri tanah air di Papua ataupun Sulawesi?


Enam tahun, waktu yang tidak cepat, juga tidak lama.


Apakah waktu tersebut telah menyiapkan masa yang bermakna?
Ataukah hanya akan menjadi kesia-siaan belaka?


Enam tahun masa menimba ilmu dan pengetahuan serta mencari permasalahan dan solusinya. Namun selama enam tahun itu juga, rumah-rumah di sepanjang rel kereta api Medan-Rantauprapat tetaplah diselimuti batu-bata dan papan-triplek. Bantaran sungai Babura dan Deli masih juga dihias oleh rumah-rumah kumuh dan keluarga yang menikmati bersihnya air sungai yang kotor. Bagaimana juga kabar masyarakat di pedalaman Sumatera Selatan, rakyat di perbatasan Indonesia-Malaysia, anak pertiwi di pulau-pulau kecil Indonesia, ataupun putra putri tanah air di Papua ataupun Sulawesi?

Maka,
Enam tahun, selanjutnya apa???


Rabu, 18 Juli 2012
Sepanjang Rel Kereta Api Medan-Rantauprapat

Saturday 21 January 2012

Kenangan Bersama Ompung


Pekanbaru, kota kelahiran. Kembali ke kota ini setelah empat tahun lamanya hanya bisa mengingatnya lewat kenangan. Kembali juga ke sebuah rumah penuh kisah dan cerita, rumah di Jalan Hasanuddin No. 103. Rumah itu masih sama seperti dulu, hanya ada beberapa perubahan fungsi saja. Namun, ada satu yang tidak sama lagi. Ya, tawa dan senyum itu tidak kutemui lagi di sana. Tawa dan senyum dari Ompungdoliku.

Biasanya, tawa dan senyum Ompungdoli akan selalu menyambut setiap kali aku datang. Tak lama setelah aku datang, dia akan selalu mengajakku ke pasar, bukan untuk belanja, melainkan membawaku ke tukang pangkas langganannya. Satu kali aku sengaja berpangkas dulu di Medan sebelum datang ke Pekanbaru, namun alasan itu tidaklah mampu membuatku menolak ajakannya lagi dan lagi. Dahulu aku bosan dan berusaha menolak ajakannya berpangkas, sekarang aku rindu dan menanti berpangkas bersamanya lagi. Sayang, itu semua tinggal kenangan.

Terakhir aku datang ke kota ini, tidaklah senyum segarnya yang menantiku, melainkan tubuh yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Tubuhnya telah tertidur selamanya, dan rohnya telah kembali kepada Sang Penciptanya.

Teringat aku kembali kisah orangtuaku. Saat itu aku masih bayi, belum satu tahun mungkin. Ompungdoliku meminta kepada orangtuaku agar aku dapat tinggal di Pekanbaru selama orangtuaku beasiswa di negeri seberang. Seorang bayi kecil selama beberapa bulan ditinggal bersama kedua Ompungnya. Namun, sejak saat itulah aku semakin akrab dengan Ompungku, terkhusus Ompungdoliku. Tidur di kamarnya setiap hari, setiap saat aku berkunjung ke sana. Dan ada satu hal yang selalu dilakukan Ompungdoliku setiap hari, dengan tekun dan setia. Hal yang selalu ditanamkannya kepada kami, cucu-cucunya, dengan ajaran dan juga tindakan -walau para cucunya yang bandel ini selalu berusaha menolak dan mengabaikan- yakni, saat teduh di malam dan pagi hari.

“Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”
Markus 1 ayat 35 ini berulang kali terdengar di telingaku, sebanyak aku berusaha menolak bangun dari tidur di pagi hari. Dengan setia aku menutup mataku, dengan setia juga dia berusaha membangunkan aku dan saudaraku untuk ikut bernyanyi dan membaca Kitab bersamanya. Sekali waktu hampir belasan menit kami menolak bangun, hingga mungkin dia menyerah dan meninggalkan kami. Suaranya terdengar menyanyikan lagu rohani kesukaannya. Kami yang diliputi rasa bersalah kemudian bangun dan duduk di sebelahnya. Senyuman tersungging di wajahnya. Senyum yang telah lama tidak aku lihat lagi.

Ketika aku malas bangun dan Ibuku mengeluh kepada Ompungku, dengan segera dia memintaku membaca Amsal 6 ayat 6-11. “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring – maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.”
Ayat ini berulang-ulang diajarkannya kepada kami, para cucunya, hingga aku sendiri pernah luar kepala melafalkan ayat ini. Ayat yang selalu terngiang ketika aku malas dalam beraktivitas, walaupun kadangkala cucu yang bebal ini masih juga jatuh bangun dalam satu hal ini.

Sering kali dia menghubungi kami di Medan. Menanyakan kabar kami, kemudian mengajak kami berdoa dan membacakan Firman dari buku saat teduh favoritnya. Dirinya membentuk diriku sejak kecil, mengajarku ketika aku sendiri masih belum ingin belajar. Kasih dari Ompung kepada cucunya, lewat perkataan, perbuatan, dan pengajaran, dilakukan dengan tekun oleh Ompungdoliku.

Berkumpul dengannya menjadi salah satu kesempatan bagi kami untuk mendengar banyak cerita. Mulai dari perjuangannya di zaman kemerdekaan, saat dia menjadi penatua gereja namun masih memiliki jimat-jimat pribadi, dan waktu dia meninggalkan serta membakar semua jimatnya (berulang kali dia bercerita bahwa ibuku ternyata salah satu yang berperan menyadarkannya atas dosanya tersebut). Dia juga bercerita ketika dia memulai pelayanan ke desa-desa di Sumatera Utara ataupun Riau, menjalin hubungan dengan penduduk sekitar, dan banyak kisah lainnya.

Banyak pelayanan yang dilakukannya, baik yang gerejawi maupun pada masyarakat umum. Ada satu hal yang menarik dari Ompungdoliku, dia seorang perokok aktif. Namun hal ini jugalah yang memberikan pemahaman padaku hingga hari ini. Bahwa salah ketika orang menganggap para perokok itu hina, jahat, penuh dosa, dan lainnya. Dengan berani aku akan berdiri di depan menolak anggapan itu, karena Ompungdoliku telah memberikan kesaksian yang hidup tentang hal ini. Bahwa banyak orang yang kelihatannya baik di luar, tidak merokok, dan lainnya, namun hidupnya bejat, menghakimi orang lain, dan lain sebagainya.

Sebuah ayat disampaikannya kepadaku, menunjukkan semangatnya yang berapi-api untuk memberitakan perbuatan yang besar dari Tuhan, ayat yang kemudian juga menjadi ayat katekisasiku. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib.”
Ayat ini telah mengajarkanku untuk setia bersaksi, memberitakan perbuatan yang besar dari Tuhan. Lewat perkataan, perbuatan, dan pengajaran. Hal yang telah Ompungdoliku lakukan hingga akhir hayatnya, dan tentunya harus juga kulakukan hingga tiba akhir hayatku.

Menjelang akhir hayatnya, bukannya beristirahat, Ompungdoliku justru menyibukkan diri dengan mendamaikan perseteruan di dalam keluarga besar. Sepertinya dia sudah menduga Tuhan akan segera memanggilnya. “Aku ingin konflik ini bisa selesai sebelum aku mati,” ujarnya padaku suatu kali. Hingga masa tuanya dia terus memikirkan orang lain. Banyak pegawainya yang dulu ketika dia masih muda, dibantu, dibimbing, dan diberinya uang agar bisa berkembang, sekarang sudah mandiri dan mapan, bahkan lebih mapan darinya. Namun tidak sekalipun dia mengharapkan pamrih, hal yang juga diajarkannya kepada kami, bahwa kami harus mengasihi tanpa pamrih, seperti Tuhan juga mengasihi tanpa pamrih.

Ketika aku lulus ke perguruan tinggi negeri yang kujalani sekarang, dengan penuh semangat dia menghubungiku dan memberiku motivasi serta ucapan selamat. Dia mengajakku berdoa lewat telpon, dan aku yakin setiap hari juga dia terus mendoakanku, serta mendoakan anak cucunya yang lain agar bisa menjalani hidup ini sesuai dengan rencana Tuhan. Di doa Ompungdoliku berkali-kali namaku disebut, doa yang dilantunkannya agar aku terus setia berada dalam sertaan Tuhan.

Beberapa minggu sebelum meninggal, kami bertemu di Jakarta. Aku hendak pulang Minggu pagi ke Bandung, namun dia memintaku menunda kepulanganku. Dia ingin bergereja pagi denganku. Aku menolaknya dengan alasan ada yang harus dikerjakan di Bandung. Ternyata saat itu merupakan kesempatan terakhirku untuk bisa bergereja bersamanya. Ketika aku mendengar kabar dari ibuku bahwa Ompungdoliku telah meninggal, penyesalan pun segera datang; kenapa aku menolak permintaannya. Tapi penyesalan memang selalu datang terlambat. Ompungdoli kesayanganku telah kembali ke hadirat Bapa yang dikasihinya.

Di rumah duka, rumah Jalan Hasanuddin No. 103, aku melihat sosok tubuhnya. Tubuh yang tenang seakan menunjukkan tugasnya telah selesai di dunia ini. Seketika aku mengingat sebuah ayat, yang beberapa kali juga dibacakannya di depanku. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”
Ya, Ompungdoliku telah mengakhiri pertandingan yang baik, dia telah mencapai garis akhir dan teguh memelihara imannya. Saat ini mahkota kebenaran telah tersedia baginya, juga bagiku apabila aku juga berdiri teguh hingga akhir melakukan panggilanku.

Saat acara adat untuk menguburkan Ompungdoli, ratusan orang datang ke rumah duka, puluhan papan bunga mengisi sisi jalan di depan rumah. Benar kata pepatah, “waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum. Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.”

Tahun ini merupakan tahun terakhirku berkuliah di perguruan tinggi. Dulu aku berharap Ompungdoliku bisa hadir saat pembacaan namaku di gedung Sabuga. Harapan itu masih bisa kulakukan, karena Ompungboruku masih hidup dan sehat. Harapan dan doa Ompungdoliku terus hidup dan mengalir dari Ompungboruku. Harapan dan doa yang selama empat tahun sejak sepeninggalan Ompungdoliku tanpa kusadari ternyata terus dilantunkan Ompungboruku dengan setia setiap harinya dari rumah penuh cinta di Jalan Hasanuddin No. 103.

Terima kasih Ompungdoli dan Ompungboruku atas nasihat dan didikan kalian selama ini. Cucu yang bebal ini berjanji akan membuat kalian tersenyum, baik dari rumah nan asri di Jalan Hasanuddin itu, juga dari rumah kekal di atas sana.

Tuesday 17 January 2012

Kumpul-Kumpul Membawa Perubahan


Manusia merupakan makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai individu, manusia memiliki unsur jiwa, jasmani dan rohani. Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khasnya tersendiri. Keunikan ini juga berkaitan dengan kemampuan, potensi diri, dan minat yang berbeda-beda. Tidak ada manusia yang persis sama, bahkan untuk yang kembar siam sekalipun. Sebagai makhluk sosial, manusia pada kodratnya adalah makhluk bermasyarakat yang harus hidup bersama manusia lainnya. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan, potensi diri, dan minat manusia juga akan berkembang bila ia hidup di tengah manusia lainnya.

Terkait dengan hal di atas, secara sadar atau tidak sadar, manusia cenderung berkumpul dengan manusia lainnya yang memiliki kemampuan, potensi diri, dan minat yang mirip dengannya. Manusia membentuk perkumpulan, kelompok, ataupun organisasi sebagai wadah aktivitas bersama. Begitu juga dengan pemuda. Para pemuda membentuk perkumpulan di kampus, lingkungan rumah, masjid, gereja, atau komunitas lainnya. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan di komunitas ini. Peminat tarik suara melakukan latihan vokal grup, pecinta diskusi melakukan kajian setiap minggu, dan lain-lainnya. Potensi, minat, dan kemampuan para pemuda pun semakin berkembang di komunitas ini.

Kumpul-kumpul di komunitas merupakan tempat kita untuk belajar di kala muda. Komunitas ini adalah laboratorium kehidupan, ruang persiapan bagi kita sebelum memasuki komunitas besar: masyarakat. Saat muda adalah waktu untuk mengasah kemampuan dan potensi diri, berbuat salah dan mengevaluasinya, serta kemudian melakukan perbaikan agar menjadi lebih baik lagi. Saat muda juga adalah saat untuk mencari minat, ke bidang mana nantinya akan bergelut kala terjun ke masyarakat. Peran komunitas sangat penting dalam menyiapkan para pemuda ini.

Realitanya, komunitas-komunitas ini cenderung hanya bermanfaat bagi individu dan komunitas itu  saja. Para pemuda menikmati pengembangan diri di komunitas ini, namun kurang memberikan manfaat ke luar komunitasnya. Komunitas seperti ini terkadang justru menjauhkan pemuda dari realita dan bukan sebaliknya. Para pemuda pun membentuk dirinya menjadi makhluk anti masyarakat yang hanya nyaman hidup di komunitas kecilnya saja.

Tak dapat dipungkiri, pemuda adalah generasi calon penerus yang suatu saat akan memimpin bangsa besar bernama Indonesia. Pemuda adalah pembawa perubahan bagi bangsa, baik itu perubahan menuju kebaikan ataupun kehancuran. Oleh karena itu, kumpul-kumpul yang selama ini membawa perubahan positif bagi individu anggotanya juga harus bermanfaat lebih, membawa perubahan positif bagi masyarakat dan bangsa. Para pemuda dan komunitasnya harus mau keluar dari zona nyaman dan berkarya bagi sekitar. Aksi dan karya tersebut tidak perlu muluk. Para pemuda memberi karya yang sesuai dengan potensi komunitasnya. Para pemuda harus berani memulai dari karya kecil, yang seiring dengan waktu akan berlanjut menjadi karya lebih besar lagi bagi masyarakat.

Kumpul-kumpul yang selama ini belum terlalu memberikan manfaat baik kepada anggota ataupun lingkungan sekitarnya juga harus mau berbenah diri. Komunitas tersebut harus melakukan evaluasi perbaikan sehingga komunitas ini dapat melakukan perannya dengan optimal, yakni menyiapkan para pemuda yang siap berkarya bagi masyarakat dan bangsa. Semakin banyak komunitas yang memiliki tujuan membangun bangsa akan semakin baik. Akan semakin banyak dihasilkan pemuda yang siap menggeluti bidang di masyarakat sesuai minat dan kemampuannya masing-masing.

Banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan oleh komunitas ini. Komunitas peminat diskusi dapat melakukan kajian tentang permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat. Komunitas pemuda masjid atau gereja dapat melakukan kegiatan bakti sosial ataupun penyuluhan di lingkungan sekitarnya. Komunitas pecinta lingkungan dapat melakukan gotong royong membersihkan taman kota, dan banyak hal baik lainnya yang bisa dilakukan sesuai potensi dari komunitas masing-masing. Pada akhirnya, komunitas ini dapat belajar berdampak mulai dari hal kecil, dan kumpul-kumpul itu akan membawa angin perubahan baik bagi anggota, komunitas, masyarakat, dan bangsa.