inspirasi

inspirasi

Saturday 18 September 2010

Panggilan dari Ibu Pertiwi

kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang


hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa


Pagi hari di 14 September 2010, aku keluar dari kosan untuk membeli makanan dan pergi ke kampus. Masih libur memang, tidak ada kerjaan di kosan, sayangnya tidak punya tempat persinggahan lain, sohib-sohib masih berada di kampung halaman ataupun berlibur di luar kota, akhirnya kampus pun menjadi jawaban terakhir untuk mengatasi kesendirian.
Sebelum memasuki paragraf selanjutnya, agar tulisanku ini dapat menggapai tujuan penulisannya, kalau rekan-rekan berkenan, aku merekomendasikan untuk kita sama-sama coba mencari lagu 'Ibu Pertiwi', memutarnya dan menghayati setiap lirik, setiap pesan yang disampaikan di lagu tersebut.
Kemudian, aku yakin rekan-rekan sekalian mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, kita dapat mencoba membayangkan kondisi-kondisi yang ada di ibu pertiwi dan juga coba membayangkan kondisi yang akan coba aku ceritakan di paragraf selanjutnya. Sudah mulai mendengar dan membayangkan? Oke, sudah ternyata. Terimakasih kawan, mari kita lanjutkan lagi.

Masih di jalan kecil di dekat kosanku, aku melihat sebuah keluarga tunawisma yang terdiri dari suami istri dan beberapa orang anaknya, kira-kira 6 orang, aku tidak menghitungnya dengan pasti, sedang berjalan ke arah jalan besar. Keenam orang anak ini tubuhnya mungil, mungkin jarak umur di antara mereka hanya dipisahkan waktu 9 bulan sampai satu tahun dan umur yang paling besar kira-kira 10-12 tahun atau jangan-jangan lebih tua dari itu, namun badan mereka yang sangat mungil pada akhirnya hanya dapat membuat aku menerka-nerka.

Tidak ada barang bawaan yang mereka pikul, hanya pakaian yang mereka kenakan. Sang ibu menggendong anaknya yang paling kecil dan juga membawa kain yang diikatkan di punggungnya layaknya para pengelana zaman dahulu dimana di dalam kain ini mungkin berisikan sedikit pakaian ataupun benda-benda paling berharga yang dimiliki keluarga ini.



Namun ada satu hal yang juga sempat menyita perhatianku dan akhirnya terus terbayang di pikiranku hingga saat ini. Sang bapak yang tidak mengenakan sehelai pun alas kaki membawa beban juga di pundaknya, bukan tas ataupun kain juga, melainkan seorang anak yang digendong layaknya para kuli di pelabuhan mengangkat sekarung beras di pundaknya. Tangan dan kaki sang anak terayun-ayun begitu saja dipermainkan langkah kaki sang bapak. Aku hanya menoleh sesaat, kemudian sambil mengendarai kendaraanku, aku melewati keluarga ini dan beberapa puluh meter di depan mereka aku berhenti untuk membeli makananku. Selesai memesan makanan, aku keluar dari warung makanan untuk coba melihat kondisi yang ada di sekitar pada pagi hari dan ketika aku melihat ke arah kendaraanku, ternyata keluarga tuna wisma ini sedang beristirahat tidak jauh dari sana. Beberapa orang anak bermain di sekitar sang ibu, dan sang ayah duduk di trotoar dan anak yang digendongnya tergeletak di jalan dengan mata tertutup. Kaki sang ayah berada di atas betis sang anak.

Kira-kira 10 menit mereka berada di sana dan rasa penasaranku akan kondisi sang anak ini membuatku beberapa kali berusaha untuk melihat ke arah keluarga ini, begitu juga ternyata yang dilakukan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Aku melihat ke arah dadanya, mungkin karena jarak kami yang jauh, aku tidak melihat gerakan naik-turun di dada layaknya seseorang yang sedang menghirup udara. Aku kembali bertanya-tanya, namun ketidakberanian aku untuk mencari tahu lebih lagi, dan mungkin juga sikap ketidakpedulian yang masih ada di dalam diriku membuatku pada akhirnya hanya melihat keluarga ini saja hingga mereka beranjak dan kemudian berjalan lagi meninggalkan kawasan tersebut.

Selesai membayar makanan, aku pun kembali ke kendaraanku dan memulai perjalananku ke kampus. Kembali kondisi tadi bermain-main di alam pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan kembali keluar. Kemana mereka pergi? Bagaimana kondisi sang anak tadi? Apakah dia sakit, atau jangan-jangan dia telah kembali ke pelukan Sang Khalik? Apa yang anak-anak itu makan? Bagaimana cara mereka bertahan hidup?
Banyak pertanyaan yang berkecamuk namun siapa yang bisa menjawabnya, tidak ada saat itu, karena aku telah melewatkan kesempatan itu. Ketika tadi aku memutuskan untuk hanya melihat keluarga ini, sama halnya dengan yang dilakukan juga oleh setiap orang yang ada di tempat itu, aku telah memutuskan juga kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini yang akhirnya hanya semakin menambah pertanyaan-pertanyaan lain di benakku.

Detik pun berlalu dan kembali aku berjalan-jalan di alam pikiranku.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota pendidikan yang memiliki berpuluh-puluh sekolah dan perguruan tinggi. Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota yang sangat banyak didatangi wisatawan dari luar maupun dalam negeri.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, ibukota provinsi yang sangat dekat dengan ibukota negara dan tentunya memiliki akses cepat dalam setiap isu yang ada.
Kondisi tadi terjadi di kota ini, kota yang pembangunan gedung-gedung serta tempat rekreasi seperti mall, factory outlet dan lainnya serta pertumbuhan kendaraan bermotornya setiap harinya terus meningkat,
Kondisi itu terjadi di kota ini.

Bagaimana lagi dengan daerah-daerah lain di kabupaten dan perdesaan?
Bagaimana kondisi daerah-daerah di pedalaman yang jauh dari akses listrik, jalan, dan jauh dari kota-kota besar?
Bagaimana kabar saudara-saudara kita yang berada di bagian timur Indonesia yang jauh dari ibukota karena sudah rahasia umum, pembangunan nasional masih terlalu berpusat di bagian barat saja.
Kondisi seperti tadi saja masih terjadi di kota ini, bagaimana lagi di tempat-tempat lain.




 Tanda tanya pun semakin banyak berkumpul di benakku yang mendesak keluar untuk segera bisa dijawab, namun sebuah hembusan angin sejuk datang, mencoba menahan pertanyaan ini untuk bisa tenang dan mau disimpan lagi di lokernya yang paling terdalam.
Sudahlah kawan, untuk apa kau pikirkan itu semua. Itu terlalu berat untuk kau pikirkan sekarang, biarlah para pemimpin kita yang memikirkannya dan kau kerjakan saja bagianmu saat ini. Engkau mahasiswa dan belajarlah yang tekun dan nanti ketika kau sudah sukses, saat itulah kau membuka lagi loker penyimpananmu, dan jawablah setiap pertanyaan yang kau simpan disana.
Sebuah hembusan angin yang sejuk, memberikan solusi kepadaku untuk melupakan setiap pertanyaan yang ada, namun apakah yang sejuk itu baik? Simpan pertanyaan itu, tapi tidak perlu dimasukkan ke loker penyimpananmu, segera kita akan membahasnya.

Aku mencoba berhenti dari perjalanan di pikiranku dan coba kembali ke dunia nyata yang ada, namun sebelum aku sempat berbalik, suatu kenyataan kembali menghampiriku dan akhirnya membuat aku betah untuk berlama-lama lagi di alam pikiranku.

Beberapa waktu ini kita banyak dihebohkan dengan berbagai permasalahan yang terjadi di bangsa ini.
Kasus century, mafia hukum, pajak, komitmen anggota DPR, dan banyak hal lainnya yang terakhir ini ditutup oleh permasalahan kerukunan umat beragama terkait pemukulan di HKBP Bekasi.
Belum lagi kondisi-kondisi yang terjadi di mancanegara seperti depresi perekonomian global, Indonesia vs Malaysia dengan segala pemantiknya seperti kasus perbatasan, TKI, dan lainnya serta yang baru-baru ini terkait rencana pembakaran kitab suci agama Islam di AS.

Pada saat membaca dan mengetahui setiap isu-isu ini aku, kita selalu merespon. Ada yang mengkritik, mengeluh, memaki, memberikan harapan, dan banyak respon-respon lainnya. Namun ketika waktu sudah berlalu, beberapa hari dan minggu sudah lewat dari kejadian yang ada, semua respon itu dilupakan dan respon-respon lain, untuk permasalahan lain dikeluarkan lagi oleh kita, dan begitu seterusnya.
Selalu reaktif ketika ada permasalahan yang mengusik, namun segera melupakan dan tidak mengingat kembali ketika itu sudah berlalu.

Bagaimana dengan hal tadi?
Kondisi tadi terjadi di depan mataku kira-kira beberapa puluh menit yang lalu dan aku tidak melakukan apa-apa.
Lalu, untuk apa selama ini aku memberikan respon untuk setiap kondisi yang terjadi di luar sana, namun hal yang ada di depan mataku, aku tidak mampu melakukan apa-apa.

Beberapa waktu ini kerukunan umat beragama digoncang dengan kejadian di luar negeri, di AS dan juga kejadian di dalam negeri di Bekasi. Banyak respon yang keluar dan aku juga menanggapi kedua permasalahan tersebut.



Aku seorang Batak, seorang Kristen, dan seseorang yang beruntung memiliki orangtua yang bisa menghidupiku dengan baik. Kecintaanku pada suku ku sangat kuat, keimananku pada Tuhanku juga bukan sekedar agama di KTP saja, kedua hal inilah salah satu aspek yang membentuk aku dari kecil, tapi aku juga tidak melupakan satu hal, satu hal yang sangat esensial, aku dilahirkan di Indonesia, bukan di Malaysia, Australia, ataupun Amerika dan karakterku juga dibentuk di Indonesia. Sukuku adalah suku di Indonesia, aku Batak Indonesia, aku Kristen Indonesia.
Merah darahku dan putih tulangku sama seperti saudara-saudaraku yang lain, Aceh Indonesia, Jawa Indonesia, Madura Indonesia, Dayak Indonesia, Asmat Indonesia, Tionghoa Indonesia dan suku-suku lainnya. Kecintaanku kepada tanah airku sama seperti saudara-saudaraku yang lain, Islam Indonesia, Budha Indonesia, dan agama-agama lainnya.

Untuk apa aku berpikir tentang perbedaan, Indonesia berada di belakang nama, suku, ras, dan agamaku.
Persatuanlah yang dulu menjadi jawaban atas kemerdekaan kita.
Bhineka Tunggal Ika.
Darah para pejuang, darah orang Aceh, Melayu, Sunda, Bali, Ambon, Papua, Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya telah mengalir untuk menebus kemerdekaan ini. Darah mereka telah tumpah ke ibu pertiwi.



Apakah kemudian darah setiap mereka yang sudah mati memisahkan diri sesuai kelompoknya?
Tentu saja tidak, darah itu dengan bangganya bersatu, tumpah ke tanah air yang sama, Indonesia.



Darah persatuan mereka lah yang menjadi dasar terciptanya kemerdekaan ini, lalu, untuk apalagi kita mengelompokkan diri, menganggap kita lebih baik dari yang lain.

Mereka dengan bangganya menyatakan kesatuan mereka di Sumpah Pemuda dan menunjukkannya dengan tindakan konkrit melalui tumpahnya darah mereka dalam perjuangan kemerdekaan dan bahkan pada saat mereka sudah terkapar pun, mereka masih terus mempertahankan kesatuan mereka. Darah mereka pun tetap mengalir ke tanah yang sama kawan, tanah tempat kaki aku dan kau melangkah sekarang.



Sama merah darah kita, putih juga tulang kita, berpijak di tanah air yang sama, apalagi yang kita permasalahkan kawan.

Untuk apalagi kita berteriak-teriak akan perbedaan, sementara masih banyak tugas-tugas lain yang belum sempat diselesaikan para pejuang kita dan merupakan beban kita sebagai penerus mereka untuk menyelesaikannya.
Untuk apalagi kita membuat masalah baru, yang sebenarnya merupakan jawaban dari kondisi yang ada sekarang.




Apa masalah kita?
Apa musuh kita?
KORUPSI MUSUH KITA!!
KEMISKINAN MASALAH KITA!!
KETIDAKADILAN LAWAN KITA!!



Itu musuh kita bersama kawan, masalah kita bersama.
Itu musuh orang Islam, Katolik, Konghucu, Jawa, Batak, Padang, Toraja, Ambon, Papua, Tionghoa, Kaya, Miskin,
Hal-hal itulah yang harus kita bereskan bersama...

Persatuan yang dulu merupakan jawaban dalam memperjuangkan kemerdekaan, tentunya sekarang juga menjadi satu-satunya jawaban dalam mengatasi kebobrokan bangsa saat ini.



Kembali ke pertanyaan yang tadi telah kita simpan sejenak untuk nantinya segera kita jawab.
Kondisi yang aku lihat tadi, itu juga terjadi di seluruh Indonesia, bahkan mungkin dialami sanak keluarga kita sendiri. Mereka yang juga merupakan saudara-saudara kita setanah air, apakah masalah yang mereka hadapi itu bukan masalah untuk kita. Apakah bukan tugas kita agar mereka juga bisa merasakan negara kita yang kaya ini?
Apakah kita harus menunggu nanti, menunggu kita tua, menunggu semangat itu meredup, dan akhirnya hanya jiwa pragmatis saja yang tersisa di diri kita, dan mereka akhirnya hanya berada disana, hingga anak cucunya, menunggu jawaban, sementara kita yang tahu jawaban itu memilih untuk melakukannya nanti, nanti yang tidak diketahui kapan akan dilakukan. Nanti yang layaknya janji yang terus diucapkan. Nanti.



Seperti yang telah teman-teman dengar dari lagu 'Ibu Pertiwi', tanah air kita sedang menangis kawan, ibu pertiwi kita sedang susah. Untuk apa lagi kita membuat masalah baru. Saatnya kita menjadi jawaban untuk ini semua. Tanah kita kaya, alam kita menyimpan banyak hal yang siap untuk digunakan. Siapa lagi yang dapat memberdayakannya kalau bukan kita.

Apakah kita mencintai ibu pertiwi?
Apakah kita semua sepakat kalau kita semua merupakan putra-putri bangsa, tidak ada yang merupakan anak tiri, ataupun hanya penumpang gelap di tanah ini?
Apakah kita siap berbakti menggembirakan ibu kita?
Layaknya ibu yang akan tersenyum ketika melihat anaknya tertawa, menggembirakan ibu kita berarti menggembirakan setiap anak-anaknya, tidak hanya sebagian anak-anaknya, tetapi setiap anak-anaknya dari Sabang sampai Merauke. Ketika itu kita lakukan, ibu pertiwi itu pun akan tertawa teman.

Apakah kita siap untuk itu?
Tentunya berat, sangat berat, kalau kita sendiri, tapi akan menjadi pekerjaan yang sangat-sangat ringan dan juga menggembirakan apabila kita melakukannya bersama-sama. Untuk apa kita mengeluarkan energi yang berlebih untuk hal-hal yang tidak perlu, perselisihan yang tidak perlu.
Hei bung, ibumu membutuhkanmu, keluarkan energi itu untuk membangun bangsamu.
Layaknya kearifan lokal para leluhur kita, bergotong royong sambil bercanda tawa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Mari kawan, ayo kita satukan lagi barisan kita.



kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu


ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa 




Apakah kita siap menjaga harta pusaka itu kawan?
Ayolah, tidak perlu lagi berpikir panjang.
Mantapkan hatimu sahabat, persiapkan dirimu saudara,
Aku yakin keputusan kita sudah bulat.
Mari kita melangkah bersama untuk hari esok yang pasti akan lebih baik.
Bersama kawan, bersama dengan segala perbedaan yang ada.
Bhinneka Tunggal Ika...
Untuk nusa dan bangsa.
Mari kita buat ibu pertiwi kita tersenyum lagi.



MERDEKA!!!


1 comment:

  1. sangat mencerahkan...
    tetaplah berkarya bagi nusa dan bangsa...

    http://itempoeti.net

    ReplyDelete