pun memulai
pelayaran kami. Kata Sang Nakhoda hanya ditempuh dalam waktu 30 menit saja.
Angin di atas kapal sungguh sejuk kawan, membuatmu ingin terlelap dalam tidur.
Tidak beberapa lama kemudian kami telah berada di tengah Danau. Aku melihat ke
sekelilingku dan apa yang kulihat teman, aku sulit menggambarkannya. Kau harus
disini untuk melihatnya. Begitu indah teman, begitu indah. Begitu indah
pegunungan yang mengelilingi Danau ini kawan. Sedikit berbeda dengan air di
pinggir Danau yang entah kenapa sedikit keruh, air di tengah Danau ini begitu
jernihnya, sehingga aku pun berharap ingin meminumnya karena aku yakin air ini
pasti menyegarkan. Sayang kapal ini tinggi dan aku juga tidak berani melompat
ke Danau ini. Kata seorang penumpang, di beberapa tempat Danau ini memiliki
kedalaman hingga 450 meter. Sungguh dalam untuk ukuran sebuah Danau. Bahkan
Kapal Feri yang membawa mobil pun ada di Danau ini. Kapal Feri yang biasanya
digunakan sebagai transportasi menyeberangi selat, di daerah ini digunakan
untuk menyeberangi Danau. Bisa kau bayangkan betapa besar Danau ini kawan.
Kami pun segera tiba di
Pulau Di Tengah Pulau. Seorang anak kapal mengutip uang perjalanan ke setiap
penumpang. Seorang penumpang di sebelahku mengeluh. Aku bertanya kenapa. Katanya
entah kenapa harga tiket kali ini naik, tidak seperti biasanya. Sepertinya
karena adanya kami, yang kelihatan jelas berpakaian tidak seperti penduduk
lokal. Aku tidak tahu apa maksud hal ini. Anak kapal itu
menghampiriku dan aku pun segera membayar uang perjalananku.
Kami pun tiba di Pulau
Di Tengah Pulau. Sungguh indah Pulau ini kawan. Terasa kehidupan lokal di daerah
ini yang membuatmu betah untuk menetap disana. Tapi sayang kawan,
di pelabuhan ini banyak sampah yang bertebaran. Mungkin karena ini
merupakan kawasan yang sibuk pikirku. Semoga di tempat lain tidak. Tapi
ternyata kondisi yang ada tidak jauh berbeda, walau tidaklah lebih kotor dari
pelabuhan tadi. Banyak sampah yang bertebaran di jalan. Aku tidak tahu kenapa,
mungkin ini hal yang biasa disana, tidak seperti di Dunia Kita. Ya,
mungkin seperti itu.
Aku dan Para Pemimpi
lainnya pun melanjutkan perjalanan kami. Kami menyewa sebuah angkutan kota
disana. Perjalanan pun dimulai, aku duduk di sebelah Sang Supir. Sungguh indah
pemandangan di kiri kanan jalan teman. Aktivitas penduduk lokal dan para
pelancong di suatu kota yang tampaknya merupakan pusat souvenir di Pulau itu.
Banyak karya seni yang terpajang disana yang merupakan karya asli para penduduk
lokal. Tapi
aku juga melihat beberapa karya yang sepertinya merupakan produksi dari luar
Pulau Di Tengah Pulau Besar, bahkan di luar Pulau Besar, yang entah karena
alasan apa dijual juga di Pulau ini. Padahal menurutku apa yang berasal dari
Pulau ini saja sudah sangat menarik, tanpa perlu menjajakan produk dari luar
Pulau. Tapi mungkin mereka punya pertimbangan sendiri. Ya,
mungkin seperti itu.
Kami tiba di suatu
tempat. Huta namanya, tapi aku lupa Huta apa. Butuh kurang lebih 10 menit untuk
tiba disana. Tidak lama. Kami pun disambut oleh beberapa orang yang sepertinya
merupakan penduduk Huta tersebut. Mereka menawarkan diri untuk menjelaskan
kisah panjang tentang kehidupan di Huta tersebut. Oh iya, kami juga dikutip
biaya untuk masuk ke dalam. Tidak mahal, hanya seribu perak saja kawan dan kami
bisa menikmati keindahan budaya yang berada di Huta tersebut. Sungguh indah
Huta ini kawan. Kata seorang sahabat yang di Dunia Kita merupakan pecinta seni,
rumah-rumah di Huta ini masih asli dan banyak peninggalan yang sudah berumur
beratus-ratus tahun disini. Sang Penduduk Lokal mengisahkan banyak hal kepada
kami yang tentunya tidak akan pernah kami dapatkan di tempat lain. Aku lupa
membawa catatan untuk mencatat setiap penjelasan yang diterangkan oleh Sang
Penduduk Lokal. Kau harus kesini kawan, ya kau harus kesini. Ada Sopo, Jabu,
Gorga, Ulos, Tempat Rapat Adat, Tempat Pemasungan, dan banyak hal lainnya. Aku
juga mengerti tentang Dalihan Na Tolu disini. Kau harus datang kesini kawan,
ya, kau harus datang kesini.
Kami kembali melanjutkan
perjalanan kami kawan. Kali ini kami pergi ke sebuah daerah. Di tempat ini,
setiap harinya ada penampilan tarian yang merupakan budaya di Pulau tersebut.
Waktu kedatangan kami tepat. Kami pun bergegas memasuki amphitheater tempat
pertunjukan tarian ini. Ada beberapa rumah disana yang menjadi latar. Ada juga
para pemain musik yang duduk di lantai dua sebuah rumah. Tarian pun dimulai diiringi
permainan Gondang, Sarunei, dan alat musik lainnya.
Para Penari menari dengan baiknya, tapi sayang
kawan, beberapa kali seorang penari mengalihkan pandangannya ke luar, seakan
pikirannya tidak disana. Ada juga penari yang umurnya sepertinya sudah tua,
tampaknya di atas 50 tahun. Kemana pemuda-pemudi yang lain? Mungkin
mereka sedang bekerja, ya, mungkin seperti itu. Tarian-tarian ini memiliki
cerita. Dulu mereka ini ditarikan untuk berbagai ritual, namun sekarang tidak
lagi. Oh iya kawan, kami sempat diajak menari bersama. Sulit digambarkan dengan
kata-kata betapa serunya kondisi waktu itu. Kami mengikuti tarian seorang
penari, berjalan, menunduk, menggerakkan kedua tangan kami. Ah, menceritakan
ini membuatku jadi ingin kembali kesana. Kau seharusnya ikut menari bersama
kami kawan, sayang kau tidak ikut bermimpi bersamaku.
Berlanjut ke bagian ketiga.