inspirasi

inspirasi

Saturday 14 December 2013

Tujuan Sebuah Cita-Cita

Tahun ini pun akan segera berakhir. Hari-hari penuh suka dan duka telah berlalu dan ke depan kita akan menamakan mereka sejarah. Sejarah dari usaha kita untuk mencapai impian dan cita-cita. Sering juga kita menamakannya tujuan hidup kita.

Apakah impian atau cita-cita kita? Lulus SMA, lulus SPMB (atau apapun namanya sekarang), dapat pacar yang pintar, manis, dan puluhan kesempurnaan pacar lainnya, lulus tepat waktu dengan IP 4 kalau bisa 5, bekerja dengan gaji sebesar gaji direktur, menikah dengan primadona, menjadi presiden, ataupun seabrek keinginan lainnya. Impian itu begitu besar, sampai-sampai memaksa kita untuk menetapkan resolusi di setiap awal tahun. Ada yang menyebutnya janji, ada juga yang menggelarinya nazar (tentunya bukan Nazarudin). Apapun panggilannya, resolusi itu adalah buah dari keinginan kita. Dan kita bertekad untuk bisa mencapainya setahap demi tahap.

Tidak jarang kita rela menyakiti diri sendiri untuk mencapai keinginan kita. Tidak tidur semalaman (bisa dibayangkan sakitnya menahan kantuk), menabung (menahan diri untuk membeli hal-hal yang kita inginkan), seharian di luar rumah, stres karena beban pikiran, menolak ikut kumpul-kumpul dengan rekan sepermainan, sampai juga sakit fisik seperti batuk, demam, bahkan tipus atau demam berdarah. Itu semua siap kita hadapi demi meraih impian kita.

Namun, pertanyaan pun muncul. Untuk apakah kita berjuang meraih cita-cita, impian, atau keinginan kita?
Lulus SMA agar bisa melanjut kuliah. Lulus kuliah agar bisa melanjut kerja. Kerja agar bisa mendapat gaji untuk hidup dan menikah, dan seterusnya. Pada akhirnya setiap tujuan itu hanya menjadi tujuan sementara, tujuan sementara yang akan berganti lagi menjadi tujuan sementara lainnya ketika kita sudah mencapai tujuan sementara tersebut. Kita tidak pernah puas mencapai satu tujuan dan terus berjuang meraih tujuan selanjutnya, bahkan terkadang menyimpang dari semestinya.
Suami yang tidak puas beristri satu dan justru sering mencari "jajan" di luar, koruptor yang sudah punya uang banyak namun tetap korupsi, dan fenomena-fenomena lainnya.
Pertanyaannya, sampai tujuan manakah kita baru puas dan berhenti?

Sang filsuf ternama, Aristoteles, ternyata telah menyadari dan mempertanyakannya 2400 tahun yang lalu. Apakah semua tujuan hidup manusia hanyalah tujuan sementara, tujuan yang akan berganti menjadi tujuan baru ketika tujuan sebelumnya sudah tercapai? Tidak adakah tujuan yang abadi? Tujuan yang ketika manusia mencapainya, dia tidak akan berpikir untuk mencari tujuan baru lainnya.

Dan sang filsuf ternyata juga menjawab pertanyaannya sendiri. Tujuan abadi itu memang ada, yakni KEBAHAGIAAN.
Pada hakikatnya, apapun yang dilakukan manusia adalah upaya untuk mencapai KEBAHAGIAAN. Membahagiakan dirinya, orangtuanya, keluarganya, temannya, gurunya, istrinya, masyarakatnya, negaranya, ataupun Tuhannya.

Kita ingin lulus agar membahagiakan orangtua kita yang sudah menyekolahkan kita dari muda. Kita bekerja untuk membahagiakan orangtua ataupun istri dan keluarga kita. Kita mengabdi dengan setia untuk membawa kebahagiaan bagi masyarakat dan negara kita. Kita rajin beribadah dan hidup taat demi menyenangkan Tuhan yang kita sembah.

Menjadi refleksi bagi kita, apakah usaha yang kita lakukan selama ini sudah kita lakukan untuk mencapai kebahagiaan itu? Apakah cita-cita kita memang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, bukan semu dan bisa hilang dimakan waktu?
Ataukah selama ini kita telah berjuang untuk cita-cita yang justru tidak membawa kebahagiaan sejati?

Mari merangkai cita-cita yang berpatok kepada kebahagiaan. Karena tujuan dari cita-cita bukanlah kenikmatan semu, melainkan KEBAHAGIAAN yang sejati. :)

No comments:

Post a Comment