sumber: http://muhammadsoleh.blogspot.com |
Alkisah sebuah negeri di
tengah dua samudera. Negeri kaya, makmur alam dan isinya. Telah menjadi bangsa
besar sejak ratusan tahun, tapi terpecah-pecah dan mudah dibelah. Tiga ratus lima puluh tahun lamanya menjadi budak di tanah
sendiri. Kerinduan untuk menjadi bangsa yang merdeka ternyata telah melahirkan
geliat pergerakan dari kaum mudanya. Perjuangan yang selama ini dilakukan
dengan senjata secara sporadis dan sendiri-sendiri mulai berganti wujud. Kaum
muda negeri ini yang sudah mengecap pendidikan ala Eropa menggunakan metode
lain dalam mencapai angan mereka. Gerakan-gerakan intelektual dibangun.
Organisasi massa dibentuk. Media cetak mulai digunakan sebagai alat berbagi
pemikiran dan gagasan.
Kaum intelektual negeri ini mulai berjejaring.
Berawal dari ikatan organisasi satu suku, daerah, dan agama, kaum muda ini
kemudian menempuh langkah lanjutan. Mereka mulai membentuk organisasi yang
diikat satu bangsa, tanpa lagi melihat latar suku, daerah, ataupun agama
masing-masing. Ikatan ini mengikrarkan sumpah, Sumpah Pemuda, pada pertemuan
yang mereka lakukan tanggal 28 Oktober 1928. Dan perjuangan sebagai satu nusa,
satu bangsa, satu bahasa semakin marak dilakukan oleh kaum muda.
Tahun 1945, bulan Agustus, tanggal 17, merupakan saksi bisu membulatnya tekad menjadi rangkaian kata dalam proklamasi kemerdekaan, sebuah pernyataan tegas untuk menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan mandiri; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Negeri ini, bangsa ini berhasil mencapai kemerdekaannya. Ribuan liter keringat dan darah telah jatuh ke tanah untuk meraihnya, begitu juga puluhan ribu liter menyusul saat mempertahankannya. Sangat besar harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan, tapi ribuan, bahkan jutaan nyawa sudah bertekad berjuang bahkan mati untuk menjaganya.
Para pejuang, laki-laki dan perempuan, telah
mengikatkan tekad perjuangan “Merdeka atau Mati” di kepala, lengan, dan
hatinya. Mereka bertarung di sela gedung dan rumah. Mereka berjibaku di sawah,
kebun, ataupun sungai. Mereka beradu di meja-meja perundingan. Mereka juga
bergerilya di tengah rimba-rimba tak terjamah. Pertempuran demi pertempuran
dilalui. Perundingan demi perundingan dijalani. Tangis, tawa, hidup, mati
berganti-gantian mengisi hari-hari mereka. Semua dilalui dengan gagah berani
karena satu semangat; Kita telah merdeka, dan akan terus merdeka.
Apabila ada orang bertanja kepadamoe,
berapakah djoemlahmoe?
Maka djawablah: “... KAMI SATOE!”
Enam puluh delapan tahun telah berlalu sejak hari jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah cita-cita kemerdekaan yakni merdekanya setiap insan dalam bumi pertiwi, menjadi tuan di tanah sendiri, sudah tercapai? Apakah kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan telah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dan tidak hanya sebagian? Apakah pembangunan yang merata sudah dialami oleh setiap daerah? Ataukah ternyata itu semua hanyalah milik segelintir pribadi dan golongan saja?
Nyatanya, perjuangan kemerdekaan belumlah usai. Keringat dan darah yang dulu sudah tertumpah tidak boleh menetes sia-sia. Namun, jangan lagi kita bangunkan para pejuang dari tidur panjangnya dan meminta mereka kembali untuk menyelesaikan permasalahan bangsa saat ini. Biarlah mereka beristirahat panjang karena pengabdian mereka sudah mencapai klimaksnya. Bagian muda-mudi Indonesia masa kini untuk meneruskan semangat dan perjuangan mereka dan menjadi pelopor-pelopor era sekarang. Pelopor dalam berbagai bidang; sosial, ekonomi, teknik, politik, kesehatan, hukum, dan lainnya. Saatnya keringat dan darah kita yang harus tertumpah di bumi pertiwi.
sumber: http://the-otherside-of-history.blogspot.com |
Selamat hari
kemerdekaan.
Salam Pelopor!
*tulisan ini dimuat di www.institutpelopor.org