inspirasi

inspirasi

Wednesday 26 December 2012

Damai Natal, Damai Indonesia




Tahun ini kembali memperingati hari kelahiran Yesus Kristus, Isa Al-masih. Berbeda dengan Natal beberapa tahun terakhir dimana dapat merayakan Natal bersama keluarga di Medan, kali ini harus merayakannya bersama teman-teman di Bandung. Suasana Natal di tengah keluarga yang dikasihi pun batal dirasakan, namun Natal tahun ini tetap memberikan banyak makna dan pembelajaran baru, dan kali ini menyinggung tentang ‘damai’.

Seringkali kita terlibat pertikaian dengan orang lain. Sakit hati, dendam, kekecewaan, amarah, dan banyak hal lainnya menjadi biang keladi dari permusuhan, dan kedamaian seakan jauh dari kehidupan kita. Kita bertikai dengan teman, guru, tetangga, bahkan keluarga atau orangtua kita sendiri. Alasan pembenar kita pun klasik, kita hanyalah manusia biasa yang pasti juga bisa sakit hati dan marah. Wajar kalau sesekali terlarut dengan emosi diri.

Yesus, Sang Bayi Pendamai lahir ke dunia untuk memberikan kasih dan membawa kedamaian bagi setiap orang. Dia datang bukan hanya untuk mengajarkan apa kasih itu, tapi juga menunjukkan melalui kehidupannya. Dia hidup di dunia bukan hanya untuk meminta manusia mewujudkan kedamaian, tapi juga melakukannya, meruntuhkan setiap tembok yang berusaha membelenggu tegaknya kedamaian di tengah kehidupan manusia.

Dia mendamaikan perselisihan antara orang Yahudi dan orang Samaria dengan meminum air dari timba perempuan Samaria. Yesus mendamaikan para penderita kusta dengan masyarakat Yahudi yang terikat hukum adat dimana para penderita kusta harus disisihkan dan dikeluarkan dari kota. Yesus juga memberi kedamaian kepada orang-orang yang dianggap sebelah mata; para pemungut cukai, pelacur, janda, anak-anak, orang buta, lumpuh, dan lainnya. Yesus menunjukkan bahwa kasih dan kedamaian harus dirasakan oleh setiap orang. Dan diakhir hidupnya, sebagai puncak dari perjalanan hidupnya, Yesus menjembatani hadirnya kedamaian antara manusia dengan Penciptanya. Yesus mendamaikan manusia dan Allah, dengan mati di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga. Maka nyatalah bahwa kehidupan Yesus adalah kehidupan yang menghadirkan kasih dan damai antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan paling utama, manusia dengan Allah.

Kembali kepada Natal tahun ini, kiranya kehidupan Yesus dapat menjadi pelajaran hidup yang akan kita lakukan dalam kehidupan kita. Mungkin selama ini mudah bagi kita untuk sakit hati, dendam, kecewa, dan marah kepada orang lain, tapi sejak kita mengenal dan memahami kehidupan Yesus maka semua itu tidak akan mudah lagi masuk dalam kehidupan kita. Sehingga genaplah keinginan Yesus Sang Pembawa Damai, bahwa setiap orang yang belajar dari kehidupanNya akan menjadi agen-agen pembawa kedamaian di setiap lingkungan di sekitar kita. Pembawa kedamaian yang bukan berarti diam (baca: ‘damai’) ketika ada masalah di sekitarnya. Namun berani bicara benar walaupun orang lain tidak suka dengan apa yang akan kita katakan, ataupun berani bertindak benar walau tidak sesuai dengan keinginan lingkungan kita. Karena Yesus berdamai bukan dengan diam melihat permasalahan, tapi berpikir, berbicara, dan bertindak melawan tirani; melawan orang Farisi, hukum adat, kematian, dan hal-hal lainnya.


Damai Natal, Damai Indonesia.
Kiranya kasih dan kedamaian yang kita rasakan selama masa-masa Natal ini tidak akan berlalu begitu saja ketika hari-hari sudah jauh meninggalkan tanggal 25 Desember. Semoga kasih dan kedamaian yang sudah diajarkan oleh Yesus 2000 tahun lalu, dapat juga hadir dalam kehidupan kita sehingga 364 hari ke depan, kasih dan kedamaian selalu terpancar dari kehidupan kita. Damai dan kasiih yang kita bagikan kiranya dapat menjadi damai bagi keluarga, teman, bangsa, dan negara kita. Tuhan menyertai kita semua.
Damai Natal, Damai Indonesia. Selamat Natal bagi kita semua.

Refleksi Dies Natalis 1 abad Student Christian Movement of Srilanka (Gerakan Mahasiswa Kristen Srilanka)


So what does peace mean in this savage, corporatized, militarized world? What does it mean in a world where a entrenched system of appropriation has created a situation in which poor countries, which have been plundered by colonizing regimes for centuries, are steeped in debt to the very same countries that plundered them and have repay that debt at the rate of 382 billion dollars a year?

What does peace mean in a world in which the combined wealth of the world’s 587 billionaires exceeds the combined ross domestic product of the world’s poorest countries? Or when rich countries –that pay farm subsidies of a billion dollars a day- try and force poor countries to drop their subsidies?

What does peace mean to people in occupied Iraq, Palestine, Kashmir, Tibet, and Chechnya? Or to the Aboriginal people of Australia? Or the origin of Nigeria. Or the Kurds in Turkey? Or the Dalitis and Adivasais of India? What does peace mean to women in Iran, Saudi Arabia and Afghanistan?

What does it mean to the millions who are beiing unprooted from their lands by dams and development projects? What does peace mean to the poor who are being actively robbed of their resources and for whom everyday life is a grim battle for water, shelter, survival, and, above all, some semblance of dignity?
FOR THEM PEACE IS WAR.

We know very well who benefits from war in the age of Empire is the Corporate-Military cabel. But we must also ask ourselves honestly who benefits from peace in the age of Empire? War mongering is criminal, but talking of peace without talking of justice could easily become advocacy for a kind of capitalism. And talking of justice without unmasking the institutions and the systems that perpetrate injustice, is beyond hypocritical.

It’s easy to blame the poor for being poor. It’s easy to believe that the world is being caught up in an escalating spiral of terrorism and war. That’s what allows the American President to say: “You’re either with us or with the terrorists.” But know that terrorism is only the privatization of war. That terrorists are the free marketers of war. They believe that the legitmateuse of violence is not the sole prerogative of the state.

It’s mendacious to make moral distinctions between the unspeakable brutality of terrorism and the indiscriminate carnage of war and occupation. Both kinds of violence are unacceptable. We cannot support one and condemn the other.

The real tragedy is that most people in the world are trapped between the horror of a punitive peace and the terror of war. Those are the two sheer cliffs w’re hemmed in by. The question is: How do we climb out of this crevasse?

bersama teman2 Student Christian Movement se-Asia Pasifik