inspirasi

inspirasi

Tuesday 25 October 2011

Surat Untuk Sahabat


jalan itu kita rintis bersama, dulu.

jalan yang sudah dipenuhi semak dan ilalang,
keheningan yang mematikan,
kekeringan di kiri – kanan,
bersama rekan-rekan yang lain kita memperbaiki setiap jengkalnya,
tapi,
itu semua, dulu.

kisah lama mengatakan jalan itu dulu sekali pernah indah.
dipenuhi bunga di kiri dan kanan.
kicauan burung dan decitan tupai menjadi teman di kala berjalan.
pemandangan indah menjadi santapan bagi setiap orang yang berlalu.
kita punya keinginan mengembalikan keindahan jalan itu.

ya, tantangannya memang berat, sahabat.
bunga  berganti semak dan ilalang,
kicauan dan decitan berubah menjadi keheningan,
tapi tempat itu masih punya harapan,
itu pikir kita kala itu.

------------------------

kala itu di persimpangan jalan aku sempat berhenti.
berpikir untuk berjalan ke arah yang berbeda dengan kalian.
pikirku kalian pasti bisa melanjutkan,
dan aku coba melangkah di jalan lain yang juga penuh tantangan.
aku yakin kalian mampu, aku yakin kau mampu, sahabat.

beberapa waktu kucoba pikirkan keputusanku,
ternyata aku tidak tega meninggalkan kalian sahabat,
kembali aku mencoba berjalan bersama,
meninggalkan semua keinginan di belakang.
itu semua bisa ditunda,
masih banyak waktu dan persimpangan jalan di depan sana.
yang utama, angan kita bersama,
mengembalikan jalan ini indah seperti dahulu.


bayangan bahwa kita akan menjalani jalan itu bersama,
dan merealisasikan mimpi kita mengembalikan keindahan jalan itu,
telah membuatku semangat untuk menjalani setiap langkah.
perbaikan pasti bisa kita lakukan, sahabat.
aku yakin akan hal itu,
asalkan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
ya, jalan itu pasti bisa kembali indah.
bayangan indah itu sudah menari di anganku, sahabat,
kala itu.

sekarang,
jalan kita ternyata sudah berbeda, sahabat.
kucoba tetap di jalan ini, tapi nyatanya kau yang berpaling.
kau memilih berbelok di persimpangan ini.

selamat berjuang di jalanmu, sahabat.
banyak hal yang kudapat di perjalanan kita.
senang berjalan bersamamu, sahabat.
sampai bertemu di ujung jalan.

Saturday 22 October 2011

Memperjuangkan Kebenaran Itu Butuh Pengorbanan


Memperjuangkan Kebenaran Itu Butuh Pengorbanan
Oleh: Sahat Martin Philip Sinurat


Pada tahun 1834, dua orang Amerika, Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika, diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya. (sumber: Wikipedia Indonesia)

Hati Munson dan Lyman digerakkan untuk berangkat jauh dari negaranya demi menyebar Firman. Komitmen sudah utuh. Bangsa Batak harus mengenal Firman. Nyatanya, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh oleh orang-orang yang justru menjadi alasan kehadiran keduanya disana. Raja Panggalamei dan rakyatnya menjadi penghalang panggilan mereka. Mati martir menjadi konsekuensi perjuangan mereka demi menyebarkan kebenaran. Ternyata, memperjuangkan kebenaran itu butuh pengorbanan, bahkan hingga lepasnya nyawa dari raga.

Mata kita haru membaca kisah tentang kedua tokoh. Mereka datang ke negeri yang tidak mereka kenal. Bayang-bayang keberhasilan ataupun kegagalan berada di hadapan mereka. Tapi tekad untuk memperjuangkan kebenaran, apapun konsekuensinya, telah bulat. Kebenaran harus ditegakkan di Tanah Batak.

Di negara kita yang semakin haus akan keadilan dan kejujuran ini rasanya sangat dibutuhkan orang-orang yang memiliki tekad seperti Munson dan Lyman. Bangsa ini butuh orang-orang berani, yang siap melawan Raja Panggalamei masa kini. Tidak sebatas penyebaran Firman yang diperjuangkan Munson dan Lyman, bangsa ini membutuhkan lebih dari itu. Ekonomi, pendidikan, politik, hukum, keamanan, dan bidang lainnya lapar akan perubahan yang dibawa para penegak kebenaran. Adakah kita memiliki tekad yang sama seperti kedua tokoh? Beranikah kita memperjuangkan kebenaran? Banyak dari kita akan mengacungkan tangan. Namun, pertanyaan selanjutnya sering menggetarkan kita. Siapkah kita berkorban untuk itu? Bertarung melawan Raja Panggalamei bahkan hingga berkorbannya nyawa?

Banyak orang tergerak untuk memperjuangkan kebenaran Firman ke daerah, bahkan hingga ke negara lain. Mereka berpikir Firman harus disebarkan hingga pelosok-pelosok. Ya, itu sangat baik. Nilai kebenaran dan berita keselamatan memang tidak menjadi hak kita saja. Kita juga punya tanggung jawab untuk membagikannya ke sesama. Namun, kita juga tidak boleh lupa, kota-kota ramai juga sepi akan kebenaran. Dewa dan roh nenek moyang juga ada di kota-kota tersebut. Para penegak kebenaran harus ada disana, menghadapi Raja Panggalamei-Raja Panggalamei di sosial, ekonomi, politik, dan bidang lainnya yang berusaha mempertahankan penyembahan dewa dan roh nenek moyang mereka. Dewa ketidakadilan harus dimusnahkan. Roh korupsi harus diberangus. Begu kemaksiatan harus dilenyapkan dari bumi Indonesia.

Ya, Raja Panggalamei dan rakyatnya harus disadarkan kembali bahkan ikut berbalik melawan penyembahannya. Dewa ketidakadilan, roh korupsi, begu kemaksiatan dan hantu-hantu lainnya harus dimusnahkan dari Sabang sampai Merauke. Munson dan Lyman masa kini harus lahir kembali. Siap dihadang, ditangkap bahkan dibunuh demi hidupnya kebenaran. Mari bangkit Munson dan Lyman masa kini!

Monday 17 October 2011

Bersyukurlah Kita, Kawan


Pak Adang, seorang guru di SMP dan SMA Pasundan, telah mengajar pelajaran bahasa dan budaya Sunda sejak 14 tahun lalu. Penampilan yang rapi dan sifatnya yang ramah seakan menutupi fakta dirinya yang ternyata seorang tuna netra. Kekurangannya dalam melihat tidak membatasi totalitasnya dalam mengajar. Bahkan tidak sebatas pengajar, beliau juga dipercayakan menjadi Wakil Kepala Sekolah. Salut, itu kata pertama yang terlintas di pikiranku ketika mengobrol dengan beliau.

“Pemerintah Bandung tidak memperbolehkan kami menjadi pegawai negeri. Apakah tuna netra itu penyakit? Kami juga berhak membangun bangsa. Teman-teman di Wyata Guna juga enggan keluar dari panti ini. Mereka takut keluar menghadapi masyarakat, dan sudah nyaman dengan kondisi yang ada”, keluhnya.

Ya, tidak perlu membahasnya secara mendalam, kita pun pasti telah menyadarinya, ketidakadilan masih belum melepaskan genggamnya dari bumi pertiwi. Hak asasi manusia Indonesia seakan terkubur, tertulis dengan rapih di dalam setiap butir konstitusi yang menumpuk berdebu di sudut perpustakaan. Sampai kapankah penantian itu; saat ketidakadilan disimpan dalam peti berdebu dan dikubur di bumi terdalam; saat keadilan bisa tegak berdiri, keluar dari kurungannya selama ini?

Mereka saja punya semangat, menikmati keindahan hidup yang sebenarnya ‘melawan’ mereka. Masa kita yang ‘normal’ ini hanya bisa mengeluh dan ‘biasa-biasa’ saja menjalani keindahan hidup di depan mata kita???

Bersyukurlah kita kawan, bisa mendengar dan bisa membaca. Bisa berjalan dan bisa berbicara. Bisa bersekolah dan bisa belanja. Dan kiranya syukur itu tidak hanya kita panjatkan kepada Yang Diatas, tapi juga kepada sesama.

Sang hak masih terus menunggu. Menantikan saat dimana dia bisa terbang dengan leluasa dari ujung barat Pulau We sampai ujung timur pulau Irian. Menikmati Samudera Hindia dari Pulau Rote di selatan dan indahnya pantai Pulau Mianggas di utara. Merasakan suka dan tawa dari setiap anak Indonesia; di pedalaman dan perbatasan, di perkotaan dan pedesaan, di gedung tinggi dan gubuk kumuh.

Ya, sang hak masih terus menanti. Menantikan kita, yang mau bertindak memanjatkan syukur atas kasih Yang Maha Kuasa, dengan mengabdi dan membagikan kasih-Nya kepada sesama.

Anak Kecil yang Belajar Bersepeda


Sulit bagi seorang anak kecil untuk bisa mahir bersepeda dalam sekali latihan. Tentu dia pernah terjatuh dari sepedanya. Yang utama adalah, dia harus selalu bangkit dari jatuhnya. Jatuh dan bangkit. Jatuh lagi dan bangkit lagi hingga pada akhirnya dia akan lancar bersepeda.

Seorang muda yang sedang belajar menyetir tidak jarang menghantamkan mobilnya ke mobil orang lain ataupun pembatas jalan. Hal ini harus terjadi beberapa kali hingga akhirnya dia bisa mengendarai kendaraan dengan stabil dan aman dari tabrakan. Tekad untuk bisa mengendarai mobil dengan benar, itulah salah salah kunci keberhasilannya.

Begitu juga dalam hal lainnya, hal paling rohani sekalipun. Perubahan tidak segampang membalik telapak tangan.  Seseorang yang sudah tahu kalau kebiasaannya selama ini salah tidak semudah itu juga meninggalkan kebiasaannya tersebut. Terkadang dia harus jatuh bangun mengatasi kebiasaan salah ini. Yang utama adalah, dia terus berusaha bangkit dari jatuhnya. Jatuh dan bangkit. Jatuh lagi dan bangkit lagi.

Apakah baik kita mencemooh seseorang ketika dia sedang berusaha bangkit? Baikkah kita ketika kita mencela seseorang salah, padahal dia sedang berusaha mengatasi kesalahannya itu?
Jika ternyata hal itu baik, anak kecil sepertinya tidak akan pernah bisa lancar bersepeda; anak muda tidak akan pernah bisa menyetir mobil; dan seseorang tidak akan pernah bisa memperbaiki kebiasaan salahnya.

Wednesday 5 October 2011

Jalan yang Berkelok, Tebing yang Curam


jalan itu berkelok-kelok,

bukan berarti tidak ada yang lurus di depan.



tebing itu curam,

bukan berarti tidak ada yang landai di atas.



sungai itu deras,

bukan berarti tidak ada yang tenang di hilir.



tikungan, hambatan, gangguan,

selalu ada kerikil bahkan batuan dalam kehidupan,

bukan berarti hanya itu yang ada di sepanjang perjalanan,

karena pasti akan ada harapan dalam setiap pilihan yang ditentukan.



karakter yang dewasa,

mental yang teruji,

nalar yang tinggi,

raga yang kuat,

setiap hal itu merupakan buah dari perjalanan,

untuk menciptakan pribadi yang semakin siap dan semakin siap,



ibarat ranting pokok anggur yang harus selalu dipangkas untuk menghasilkan buah yang banyak,

bagai anak rajawali yang harus dijatuhkan dari atas tebing agar dapat terbang,

layaknya ikan salmon yang melawan arus sungai demi menelurkan anak-anaknya,

seperti perjalanan 40 tahun suatu bangsa agar siap mengisi sebuah wilayah,

ya, ibarat, bagai, layaknya, seperti itu.



hidup ini perjalanan melatih diri,

perjalanan mencari arti hidup,

kenapa seseorang itu harus ada,

atau ditetapkan ada.



tentu semuanya bukan kebetulan,

atau ketidaksengajaan semata,

melainkan ada karena di balik kenapa,

selalu ada sebab di belakang mengapa.



setiap langkah, setiap jejak,

semuanya itu seharusnya meluaskan wadah,

menambah gagas diri,

akan makna kehidupan.



semua orang pasti akan mati suatu saat,

tapi tidak semua orang hidup.



apakah kita sudah hidup?

ataukah selama ini napas itu hanya terbuang sia-sia,

dan raga itu bergerak tanpa makna,

serta jiwa itu kosong tak berguna?





seorang pelari tidak pernah tahu kapan dia akan berhenti berlari,

yang dia tahu hanyalah akan ada suatu garis akhir di depan,

dan sejauh apapun itu, dia harus terus berlari untuk mencapainya,

karena memang untuk itu dia menjadi pelari.



begitupun kapal,

yang akan aman dan jauh dari perompak ataupun batu karang selama berada di pelabuhan,

namun bukan untuk itu kapal diciptakan,

karena dia ada justru untuk berlayar di lautan,

melawan semua perompak dan mengatasi segala batu karang.



terus melangkah di jalan yang berkelok,

tetap mendaki di tebing yang curam,

hadapi setiap ombak yang menghadang,

karena di balik itu,

akan menanti padang edelweis yang indah,

dan pemandangan bintang yang gemerlap,

serta daratan yang mempesona.