inspirasi

inspirasi

Saturday 27 August 2011

Agustus Yang Akan Segera Berakhir

Walau Agustus akan berlalu, bukan berarti kenangan akan Merah Putih yang berkibar juga akan berlalu. Masih ada sebelas bulan, yang bisa diisi oleh sikap pesimis akan perubahan, atau optimis akan kebangkitan.


September, Oktober, November, dan Desember, biarlah di setiap bulan ini Merah Putih tetap berkibar di hati kita yang juga terwujud nyata melalui tindakan-tindakan kita.


Januari, Februari, Maret, dan April, di bulan-bulan ini saatnya orang lain melihat rasa bangga akan bangsa ini tidak pernah pudar, dan justru terus meningkat seiring berjalannya waktu.


Mei, Juni, Juli dan kembali Agustus, doa dan harapan harus terus dilantunkan, karya nyata harus terus dilakukan, agar tangis Ibu Pertiwi bisa terhenti, dan senyum Anak-anak Pertiwi merekah dari Sabang sampai Merauke.


Sebuah lagu patriotik Indonesia karangan/ciptaan Ibu Sud yang sangat menginspirasi. Lagu tentang Ibu Pertiwi, lagu tentang Tanah Air.

Tanah Airku

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai


Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan


Perubahan ada di tangan para muda Indonesia. Hari ini saat kita untuk menggali ilmu dan ajaran, besok tiba waktu kita untuk menanam ilmu dan ajaran.

Semoga semangat itu terus ada di dada kita, kawan.
:)

Thursday 18 August 2011

Mereka Juga Punya Mimpi

Durasi baca 2-3 menit



“Saya ingin berkarir di dunia musik”, ujar Enny, seorang remaja yang memiliki kualitas suara di atas rata-rata dan mahir memainkan tuts keyboard dan senar gitar. Gadis ini sangat bersemangat ketika menyampaikan mimpinya. Dia baru menyelesaikan studinya di sebuah SMA umum di Bandung. Gadis berumur 17 tahun ini berencana meneruskan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Satu hal yang perlu diketahui, Enny merupakan seorang tuna netra. Terdapat beratus-ratus remaja tuna netra di Indonesia yang memiliki mimpi seperti Enny dan ingin menyelesaikan studi hingga jenjang tertinggi.

Pendidikan adalah salah satu proses yang perlu dijalani manusia sehingga manusia tersebut dapat mewujudkan mimpi-mimpinya.



Sesuai konstitusi, UUD 1945 yang telah diamandemen, di Pasal 27 ayat 2 Bab Warga Negara dan Penduduk tertulis, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pada Pasal 28C ayat 1 Bab Hak Asasi Manusia juga tertulis, “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Jelas tertulis disini, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, bagaimana dengan warga tuna netra?


Menurut data Kementerian Kesehatan, angka kebutaan di Indonesia adalah 1,5% dari jumlah penduduk atau lebih dari 3 juta penduduk Indonesia menderita kebutaan (tuna netra). Dari jumlah ini, menurut survei Pertuni di tahun 2005, tercatat hanya 250 orang tuna netra yang berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Sisanya terputus di jenjang lebih rendah seperti sekolah dasar ataupun sekolah menengah, bahkan banyak yang tidak mengenyam pendidikan. Tercatat hanya 5% anak usia sekolah yang bersekolah. Mereka ini hanya bisa bermimpi dan terus bermimpi, tanpa bisa menjadikan mimpi itu nyata.



Pada SNMPTN 2011 yang lalu, empat siswa dari Panti Tuna Netra Wyata Guna Bandung mengikuti ujian di kampus ITB. Untuk mengikuti ujian tersebut, pemuda-pemudi yang bersemangat ini ditemani oleh reader yang akan membantu mereka dengan membacakan soal-soal SNMPTN. Hal yang dapat diketahui bersama, mereka mengikuti ujian SNMPTN dengan soal yang sama dan waktu yang sama dengan siswa-siswa normal. Menurut pengakuan mereka, mereka kelabakan pada pelajaran matematika dan bahasa inggris. Hasil dari ujian ini, keempat siswa tidak lulus di jurusan yang dipilihnya.


Tiga hari yang lalu, dua orang siswa, Enny yang telah disebutkan di atas dan Haris menjalani ujian masuk di sebuah universitas di Bandung. Mereka memilih jurusan musik sebagai pilihan masa depan yang akan mereka jalani. Enny dan Haris menyukai musik. Bakat Enny tidak perlu dipertanyakan lagi. Haris sendiri memiliki keahlian dalam bermain gitar. Kedua orang ini mengikuti ujian teori dan bakat, sama seperti yang dijalani calon-calon mahasiswa lain yang normal.


Pada ujian teori, kedua pemuda pemudi hebat ini tidak berharap banyak. Mereka berharap pada ujian bakat, karena disini mereka dapat memperlihatkan keahlian mereka. Enny mendapat nilai A+ pada setiap poin-poin penilaian di ujian bakat. Menurut pengakuan penilai, Enny termasuk yang terbaik pada ujian bakat kali ini. Nilai Haris sendiri di atas rata-rata walau tidak sebaik Enny. Intinya, kedua remaja yang berani ini menyelesaikan ujian bakat dengan memuaskan. Pertanyaan kita bersama, apakah kedua remaja ini diterima di jurusan yang diimpikannya?



Tidak sampai lima menit setelah mereka menyelesaikan ujiannya, seorang panitia mendekati ibu Enny yang selama ujian ini dengan setia menemani dan menyemangatinya. Sang panitia menyampaikan bahwa Enny memiliki bakat dan mendapat nilai terbaik di ujian ini. Namun yang disayangkan, mereka (baca:kampus ini) belum bisa menerima mahasiswa tuna netra disebabkan pengajar-pengajarnya merasa tidak mampu berinteraksi dengan mahasiswa tuna netra. Akhirnya sang panitia meminta maaf karena Enny dan Haris tidak akan diluluskan. Mereka merekomendasikan kampus lain di Jakarta sebagai universitas yang bisa menampung bakat kedua remaja ini. Hasil ini keluar tidak sampai lima menit, padahal normalnya hasil ujian baru dikeluarkan seminggu setelah hari ujian.


Sang ibu kemudian bercerita kepada saya dengan tidak dapat menutupi kekecewaannya. Berbagai pertanyaan diutarakannya, “Mengapa anak saya tidak dapat belajar di sini, padahal tahun lalu kampus ini masih menerima mahasiswa tuna netra?”, “Mengapa hal ini baru diberitahukan sekarang, bukan saat pendaftaran dulu?”, “Bagaimana anak saya dapat bersekolah kalau kampus-kampus lain melakukan hal yang sama?”, dan banyak pertanyaan lainnya.


Ketika Enny dan Haris keluar dari ruangan, kami segera memberitahukan perihal ini kepada mereka. Enny terus bertanya-tanya kepada ibunya, “kenapa seperti itu bu, kok seperti itu?”, sementara Haris hanya terdiam dan terlihat wajah kekecewaan di wajahnya. Pemuda-pemudi yang penuh semangat ini, memiliki cita dan impian, namun kondisi eksternal, lingkungan, masyarakat, dan pemerintah membatasi mereka untuk berkembang. Mimpi itu hanya bisa tersimpan di peti dan tidak pernah bisa dikeluarkan.

“Mungkin Enny bisa kuliah di Jakarta, tapi tidak tahu apa dana mencukupi. Saya akan coba membicarakan dengan keluarga besar”, keluh sang ibu ketika saya menanyakan bagaimana rencana untuk Enny selanjutnya.



Apakah memang harus seperti itu? Bagaimanakah implementasi dari Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28C ayat 1 UUD 1945? Apakah itu hanya sebatas konstitusi semata yang tidak dapat dijalankan? Apakah hanyalah sebuah utopia, semua warga, setiap orang penduduk Indonesia mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan? Tidak hanya penduduk perkotaan tapi juga penduduk pedesaan, pedalaman, dan perbatasan. Tidak hanya penduduk yang memiliki fisik yang normal, tapi juga warga Indonesia yang tuna netra, tuna rungu, tuna wisma, dan lainnya.



Bagaimanapun, pendidikan yang merata, hal itu harus diusahakan terjadi di bumi Indonesia.

Pendidikan adalah salah satu kunci yang membuka pintu gerbang pembangunan bangsa.

Pendidikan adalah media manusia mengenal dunia luas, menambah wawasan berpikir, dan mengetahui apa mimpinya dan bagaimana mencapai mimpi-mimpinya.

Aku, Sahat Martin Philip Sinurat mempunyai mimpi. Kamu, anda, memiliki mimpi. Kita memiliki mimpi, begitu juga dengan mereka. Mereka juga mempunyai mimpi, sama seperti kita.

Friday 12 August 2011

Umurnya Tidak Jauh Dari Kita, Wolter Monginsidi

Robert Wolter Monginsidi nama lengkapnya. Kita sering menyebut nama ini ketika sedang mencari alamat rumah ataupun tempat, namun sangat disayangkan, kita jarang mendengar kisah apa yang ada di balik nama itu. Kita tidak mengetahui begitu indah cerita perjuangan dan pengorbanan dari sang Pahlawan Nasional, Pahlawan dari Tanah Minahasa.

Dilahirkan di tanah air tempat dia memberikan hati, pikiran, dan raganya pada 14 Februari 1925, di Malalayang, Manado. Gugur sebagai patriot di Pacinang, Makassar, 5 September 1949. Umurnya tidak sampai 25 tahun, sangat muda dan masih banyak hal yang seharusnya bisa dilakukannya, tapi pilihan untuk membela rakyat, bangsa, dan negara yang dicintainya membuatnya harus mati muda. Pilihan itu sendiri tidak diambilnya dengan setengah hati. Rela berkorban, sukacita, berani, dan ikhlas, justru itu yang terbersit di akhir hayatnya.

Berikut pesan dan kata yang diungkapnya kepada orang-orang terdekatnya, baik itu kala perjuangan membela ibu pertiwi, juga di saat-saat terakhir menumpahkan darah di tanah kecintaannya, Indonesia.

Pesan ini disampaikannya kepada Opie, adiknya. Bukti ketegaran dan keberaniannya yang tidak gusar menghadapi hari kematiannya.

"Apa yang saya bisa tinggalkan hanya rohku saja, yaitu roh setia hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apa pun, menuju cita-cita kebangsaan yang tetap. Terbatas dari segala pikiran ini, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan dengan kepercayaan yang tersebut belakangan ini sangguplah saya tahan segala-galanya, teguh iman di dalam kesukaran, tenang ketika keadaan sederhana dan tidak melupakan kenalan-kenalan jika berada dalam kemajuan. Ingatlah adikku bahwa kepergianku ini bukan jalan yang berbeda dengan yang lain. Perpisahan duniawi membawa manusia masuk ke pertemuan yang kekal. Sekalipun begitu gembira dalam hidup sebab itu pun pemberian Tuhan Yang Tertinggi di dunia."

Sebuah surat disampaikannya kepada teman baiknya, Milly Ratulangi, anak perempuan dari tokoh besar lain, pahlawan nasional Sam Ratulangi. Surat itu berisikan rasa masih ingin berjuang, di tengah kematian yang menanti. Betapa besar kecintaannya kepada tanah tumpah darahnya.

"Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapa pun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman yang paling berat ini kepadaku karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan.... Untuk Tanah Air, saya sudah bulatkan hati menghadapi saat ini. Ah, Milly, apa yang saya hendak tinggalkan buat teman-temanku yang pernah mengenal kepadaku? Perjuanganku terlalu kurang tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi.... semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kukuh untuk tanah kita yang dicintai, Indonesia."

Darahnya juga tertumpah beberapa hari kemudian, menjadi fondasi, tiang yang kokoh, menyokong kehidupan kita saat ini di Tanah Air yang dicintainya, dan juga SEHARUSNYA kita cintai.

Kepada adiknya, Robbie, dia tidak lupa memberikan didikan dan ajaran.
Suratnya,

" ... bahwa sedari kecil harus tahu terima kasih, tahu berdiri sendiri ... belajarlah melihat kepahitan! ... Belajarlah bekerja mulai dari 6 tahun! ... Dan jadilah contoh mulai kecil, sedia berkorban untuk orang lain ... Untuk mengingat-ingat itu susah. Semua tidak ada yang gampang tapi terlalu susah pun tak ada juga. Bermain dengan temanmu, bekerja di kebun, bertanam, mencintai hasil usaha sendiri, menjadi penolong bagi kakakmu yang lebih tua, menjadi pembela dari yang lemah dan miskin, hormat pada orang tua, tahu mengaku bila bersalah, jangan mendapat sesuatu dengan jalan gelap dan sebagainya. Itulah, harus jadi darah dagingnya. Bekerjalah untuk kepentingan lain orang sedapat bisa. Itu bukan membuang tenaga percuma! Dan jadilah engkau sebagai adik dari kakakmu!"

Betapa luhur pikirannya. Betapa lurus jalannya. Dan kisahnya terbenam, hanya sebatas alamat jalan. Miris. Sangat disayangkan. Masih adakah Mongonsidi-Mongonsidi muda yang akan menggantikan tokoh bangsa ini?

Kata-kata Mongonsidi kepada keluarganya, lagi-lagi sebagai bukti nyata perpaduan keyakinannya yang teguh dengan kecintaannya kepada bangsanya.

"Saya telah relakan diriku sebagai korban, dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. Pengertian tanah air Indonesia buat saya sendiri hampir-hampir saja sebagai suatu wujud yang berbentuk nyata sekali. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Betapa kasihku kepada kamu sekalian dan kepada sukuku dan bangsaku tidaklah dapat kukatakan dengan kata-kata!"

Betapa dalam kecintaannya. Betapa kuat keyakinannya. Betapa tinggi.

Kisah, surat, dan tulisan ini saya kutip dari bab Menyumbang Pemimpin, buku Bangkit Memandu Bangsa karya Samuel Tumanggor. Beliau mengutipnya dari buku Jejak Kaki Wolter Mongonsidi: Sebuah Kisah Perjuangan karya S. Sinansari Ecip.

Alkisah mata sang penulis berkaca-kaca ketika menyalin kata-kata Mongonsidi, begitu juga saya ketika membaca dan menuliskan segelintir dari kisahnya. Kagum dan haru. Betapa besar tokoh ini!
Umurnya belum sampai 25 tahun ketika ajal menjemputnya, hanya berbeda dua tahun dari umur saya sekarang. Tapi pemikiran, kedewasaan, idealismenya sangat jauh, tidak dapat dibandingkan dengan saya saat ini. Betapa dalam, betapa kuat, betapa tinggi.
Menjalin dengan indah kecintaan kepada Tuhannya dan kecintaan kepada bangsanya, dan itu memang terpadu dengan baik melalui kisah hidupnya.


Sekali lagi saya bertanya, dan seharusnya kita bertanya, apakah masih ada Mongonsidi-Mongonsidi muda yang siap melanjutkan perjuangannya?

Ataukah kemapanan, kenyamanan, dan kemerdekaan ini telah membutakan kita dari 'penjajahan' yang masih terus berlangsung di tanah tumpah darah yang sangat dicintai Mongonsidi dan SEHARUSNYA sangat kita cintai juga?
Mari kita memikirkan dan menjawabnya bersama, wahai Mongonsidi-Mongonsidi muda yang sedang tertidur. Mari.

Terima kasih kepada b'sam yang telah mengenalkan tokoh ini kepada saya sehingga saya tidak sebatas mengetahui nama tokoh ini sebagai sebuah nama jalan di dekat tempat tinggal saya.


#Tulisan ini dibuat dalam rangka 17 Agustus, agar kita mengenang kisah para tokoh kita, yang telah memberikan fondasi kokoh untuk kehidupan yang kita jalani saat ini. Sudah SELAYAKNYA kita tidak terlena dengan kenyamanan, tapi tetap berjuang, melanjutkan kisah yang mereka rajut.

Sunday 7 August 2011

Keledai Dungu

Keledai Dungu

Keledai dungu yang jatuh dua kali ke lubang yang sama dan tampaknya saya termasuk kategori itu.
-___-"


Dalam perjalanan hidup kita, banyak hal yang harus kita lalui. Tantangan, hambatan, dan masalah datang silih-berganti, banyak yang bisa kita atasi, namun terkadang ada juga yang gagal kita lewati.

Sering kali ketika gagal, kita mengevaluasi diri dan menyesali kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan saat menjalani permasalahan itu. Kita membuang waktu, bermalas-malasan, tidak cermat, dan banyak hal lainnya yang seandainya tidak kita lakukan, mungkin kegagalan itu tidak pernah terjadi dan keberhasilan yang akan kita raih. Kesal, sesal, rasa bersalah. Akhirnya rasa putus asa pun hadir mengalahkan optimisme. Ya, penyesalan selalu menampilkan dirinya di akhir acara.

Sering kali kegagalan menjadi sumbu terpuruknya seseorang lebih dalam ke lubang penyesalan. Antusiasme dan optimisme seakan menghilang. Ini persoalan pilihan apa yang kita ambil. Tetap terpuruk di dalam lubang, atau berusaha bangun, bangkit, dan melangkah kembali.

Seseorang pernah berkata, kegagalan adalah pintu awal menuju keberhasilan. Seorang lagi berkata, kesuksesan adalah petualangan dari kegagalan yang satu ke kegagalan yang lain tanpa kehilangan antusiasme. Ya, pilihan mana yang kita ambil, itu yang menentukan petualangan kita selanjutnya.

Terkadang, kita gagal di persoalan yang sama berkali-kali, layaknya keledai yang mungkin karena kepolosannya terjatuh di lubang yang sama berulang kali. Hal ini membuat kita semakin jatuh dalam penyesalan dan berpikir bahwa kita tidak mungkin sanggup menjalani ini semua. Apakah itu benar?

S. I. Hayakawa berujar, "perhatikan perbedaan antara apa yang terjadi bila seseorang berkata, 'Saya telah gagal tiga kali', dan apa yang terjadi bila ia berkata, 'Saya orang yang gagal'".
Thomas Alfa Edison, sang penemu lampu dan yang sama-sama kita tahu beratus kali mengalami kegagalan sebelum akhirnya penelitiannya berhasil juga berpesan, "banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan, saat mereka menyerah"

Jatuh dan bangkit, jatuh lagi dan bangkit lagi, jatuh berkali-kali dan bangkit berkali-kali. Selalu bangkit pada akhirnya.


Kebanggaan kita yang terbesar bukan karena tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kita jatuh (Confusius)

Hanya mereka yang berani gagal dapat meraih keberhasilan (Robert F. Kennedy)


Sebenarnya apakah keberhasilan dan kesuksesan itu?

"Winning and success is not about what you get, but it's about what you give to other person and what lesson you get along the race.."


Walaupun kita gagal berkali-kali, Tuhan pasti akan selalu membuka jalan, pertanyaannya, apakah yang akan kita lakukan?

Tetap berjuang, dan selalu bangkit!!
:)